Kasus Zara: UU Pornografi, Moralitas dan Budaya Cyberbullying

Ini masih soal remas-meremas. Sayangnya bukan perkara remas pakaian seperti ilustrasi esai ini di atas. Ini masih soal Zara Adhisty yang terlalu viral sampai mengisi long weekend tanpa jeda di laman media massa.
Tidak bisa dimungkiri internet menyediakan berbagai jenis akses yang membantu peradaban manusia. Kita, mulai menemukan banyak hal baru dan membuat segalanya terasa begitu mudah. Sialnya, internet tidak hanya menyajikan sesuatu yang melulu baik.
Dengan koneksi internet, seorang bisa dengan mudah menjadi terkenal, mendapat pujian, dan semacamnya. Hal ini juga berlaku sebaliknya, mengundang reaksi tidak pernah diharapkan hingga menjadi korban rundungan.
Ketika sebuah konten menjadi viral, semua orang pasti langsung sibuk mencari sumbernya, mencari kebenarannya, ikut menyebar luaskannya sambil sibuk: mencari kebenaran atau hanya menjadi hakim yang serba tahu.
Baca Juga : Anotasi di 17-an Kali Ini |
Akses internet dan platform media sosial memang menyediakan itu semua. Seseorang bisa lebih gampang menjadi terkenal dan juga bisa hancur-lebur dalam sekejap. Hanya dalam waktu hitungan menit, warganet bisa berubah menjadi sosok yang mengerikan atau menyenangkan.
Seperti yang terjadi pada kasus Zara seperti saya tuangkan di kalimat sapaan tadi. Zara yang tanpa sengaja --atau lebih tepatnya ceroboh-- mengunggah video dengan kekasihnya Zaki Pohan di fitur stories Instagram menjadi sorotan publik dalam beberapa hari ke belakang. Orang-orang dalam jaringan merasa terpanggil untuk ikut berkomentar dan bereaksi. Lebih parahnya membuat parodi. Yang paling gampang diidentifikasi tentu saja warganet menjadi hakim tanpa palu. Lalu memvonis perbuatan Zara sebagai hal terkutuk.
Warganet jenis ini mungkin lupa pada sosok yang sedang dihakiminya, seorang seniman serba bisa sekaligus masih muda, dianugerahi paras cantik nan berbakat serta dengan segudang prestasi yang diraihnya. Hal yang seketika berubah 180 derajat ketika video yang seharusnya menjadi konsumsi pribadi tersebut diunggah Zara lewat akun Instagram miliknya, direkam dan disebarkan oleh seorang netizen yang tak bertanggung jawab ke berbagai platform media sosial lain hingga menjadi pusat perbincangan.
Pada kasus Zara, publik melakukan segala tindakan tersebut, dari mulai menggunakan kata-kata kasar yang terkadang di luar konteks permasalahan awal. Menyebarkan ke banyak orang yang tadinya tak tahu menahu soal masalah tersebut hingga akhirnya banyak pihak yang ikutan bereaksi.
Tak hanya menyebarkan ulang video, masyarakat jenis ini juga menyerang Zara lewat berbagai cara. Berkomentar dengan nada merendahkan lewat media sosial, menyerang keluarganya, menyerang teman-temannya hingga menuntut klarifikasi dan permintaan maaf langsung.
Warganet jenis ini, tanpa sadar telah melakukan cyberbullying alias perundungan dunia maya. Menurut Unicef, cyberbullying adalah perundungan dengan menggunakan teknologi digital. Hal ini dapat terjadi di media sosial seperti dalam platform chatting, platform bermain game dan lain sebagainya. Yang terburuk, hal ini ditujukan untuk menakuti, membuat marah atau mempermalukan seseorang yang tengah jadi sasaran tembak.
Para pelaku cyberbullying biasanya secara sadar atau tidak menyebarkan kebohongan tentang seseorang lewat media sosial, mengirim pesan atau nada ancaman yang menyakitkan lewat kolom komentar.
Baca Juga : Mualaf Hiperbolis, Alegori Ngibul yang Kelewatan |
Sayangnya, komentar-komentar keji para warganet ini tidak disadari dan mereka menganggap diri sebagai moralis dan mengkritik perilaku si artis lewat adat istiadat serta etika budaya timur di Indonesia.
Moralitas kelompok mayoritas ini, di Indonesia, memang masih menjadi acuan para hidup bermasyarakat. Orang dari jenis yang sangat mungkin tidak sempat memelajari apa itu moralitas-suatu ilmu kajian filsafat yang dikenal dengan nama etika yang dari awal kemunculannya hingga kini masihlah belum mencapai suatu kesimpulan final.
Dalam konsep moralitas, segala hal selalu dipandang dalam dua cara, moral (baik) dan immoral (jahat) lewat 'moralitas adat/tradisi', logika semacam inilah yang membuat segala hal menjadi begitu sesederhana baik-buruk-padahal tidak. Sebuah cara pandang klise yang ilusif.
Dalam kasus yang menimpa Zara, masyarakat jenis ini tentu saja menilai Zara sebagai kelompok immoral karena tak mengikuti tradisi pada umumnya. Standar-standar kaku atau kolot yang menutup kemungkinan seseorang berada di dimensi abu-abu, bisa baik dan jahat dalam satu waktu.
Baca Juga : New Abnormal Penonton Bayaran |
Sialnya lagi, moralitas di Indonesia juga didukung oleh negara dengan UU pornografi. Pada kasus Zara, bisa saja ia dijerat dalam undang-undang pornografi lewat pasal berlapis seperti pada pasal 1 ayat 1 dan 4 soal konten pornografi berbentuk gerak tubuh yang dipertunjukkan di muka umum dan batas usia yang belum berusia 18 tahun, pasal 8 tentang kesengajaan atau dengan persetujuan menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi, dan pasal 10 yang mempertontonkan konten pornografi tersebut di muka umum.
Hal yang bukan hanya menjadikan Zara sebagai tajuk utama ejekan publik, namun juga memenjarakannya sebagai individu yang memiliki otoritas atas tubuhnya.
Di tengah kemelut pusaran permasalahan sensitif serta pro dan kontra, Zara memilih untuk menghilang. Sebagaimana korban rundungan lain, mentalnya tentu terganggu dan hancur, lagipula siapa yang kuat menghadapi ujaran kebencian terus-menerus.
Baca Juga : Meski Rasa Kalah, Ini Tetap Kemenangan |
Sebagai contoh, salah satu artis Korea Sulli eks f(x) memilih untuk menghabiskan nyawanya sendiri lantaran tak kuat menghadapi cercaan dan sindiran tajam dari publik terhadapnya di media sosial. Publik terus menerus menyerangnya hingga kesehatan mental Sulli menjadi terganggu dan membuatnya memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Kasus seperti Sulli di Korea bukan menjadi hal pertama lantaran cyberbullying di kalangan artis selalu marak terjadi.
Kita, tentu tidak ingin Indonesia kehilangan bakat muda multitalenta yang berprestasi seperti Zara. Hal yang bisa dihindari dengan cara yang sederhana: tidak ikut dalam bagian cyberbulliying dan menyibukkan diri dengan urusan kita sendiri.
Wartawan Insertlive
(dis/kmb)
Paradoks Sesal Oppenheimer di Balik Nyanyian Tuhan dalam Perang Mahabharata
Rabu, 26 Jul 2023 14:09 WIB
'Pancasalah' dan Ragam Cara Tolak Omnibus Law Hari Ini
Kamis, 22 Oct 2020 15:18 WIB
Benar dan Salahnya Jadi Penggemar KPop Fanatik
Selasa, 06 Oct 2020 15:13 WIB
Gaya Pacaran Modern dan Klinik Aborsi Ilegal Legendaris
Jumat, 02 Oct 2020 12:03 WIBTERKAIT