Home Hot Gossip Berita Hot Gossip
Kolom

Anotasi di 17-an Kali Ini

kmb | Insertlive
Senin, 17 Aug 2020 08:05 WIB
Foto: Esai Insertlive Komario Bahar / ilustrasi oleh Fandrey N Afindra
Jakarta, Insertlive -

Apa-apa (semakin) serba virtual di pandemik yang entah kapan usai ini. Sejak lama pun kita juga menyaksikan upacara 17-an di Istana Merdeka secara virtual. Jelas, karena saya atau kamu mungkin memang cuma penonton dari rumah di hari libur ini. Kecuali kamu Paskibraka terpilih.

Presiden dan para atribut yang terlibat penyelenggaraan upacara detik-detik Proklamasi kemerdekaan RI menggunakan protokol ketat sekaligus dengan 'pasukan' yang sangat minimalis hari ini.

Ngomong-ngomong virtual, belum lama ini, saya tak sengaja 'bertemu' Soe Hok Gie di perempatan lampu merah Fatmawati. Saya menghabiskan waktu di lampu merah lalu lintas dengan melihat muka sang demonstran legendaris nan vokal dengan kutipan terkenalnya soal kemerdekaan di papan iklan sebuah gedung.


Papan iklan grafis dengan warna mencolok mengutip ucapan tersohor dari Soe Hok Gie, "Hanya ada da pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka."

Sebelum lampu berganti jadi hijau, saya mengawang sesaat. Teringat tepat empat hari lalu, istri saya dengan randomnya menonton 'Gie' karya Riri Riza. Reseknya, ia menyetel film itu saat saya mau berangkat ngantor. Maklum saya sering terpaku ketika ada film seru berbau nostalgia yang ujungnya jadi ngaret jalan ke tempat kerja.

Entah dia kehabisan stok drakornya di Netflix, atau memang lagi iseng. Setelah diusut, ternyata dia memang lagi running filmnya Nicholas Saputra saja dari 'AADC2' yang ia telan persis sebelum 'Gie'.

Ada persoalan menarik dari Gie. Ia yang beretnis Tiong Hoa tak pernah mau digolong-golongkan. Maka ketika ia diajak untuk gabung organisasi yang mengatasnamakan suara rakyat tapi dengan golongan agama (Katolik) dari sahabatnya, ia keras menolak. Gie rela hubungannya disharmonis ketimbang masuk ke organisasi kampus itu. Buat Gie, kemerdekaan adalah untuk semua, bukan golongan-golongan tertentu. Bukan buat Indonesia-China, Indo-Belanda, Indonesia tulen, yang Indo-Islam, Indo-Katolik atau lainnya. Tapi buat semua yang memang Indonesia.

kolom lainnya:

Lalu bagaimana tanggung jawab kita yang sekarang mengisinya? Buat saya 17-an kali ini memang cenderung asing. Semarak lomba-lomba di sudut-sudut kota takkan semeriah setahun lalu. Dan sebaiknya nggak usah divirtualin juga, sayang feelnya nggak kerasa nanti.

Bahkan dari sejak semalam, saya sudah mendengar Satpol PP tampak berkeliling dan menyerukan agar tak membuat acara yang mengumpulkan massa menyambut HUT RI ke-75. Kita tahu, kurva penyebaran virus 'itu' masih saja tak mereda.

Balik ke pertanyaan inti 'gimana kita mengisi kemerdekaan bangsa?' Saya, kamu atau kalian mungkin sering mengeluh: Indonesia masih bobrok. Korupsi masih momok, lalu segala hal birokrasi (beberapa masih) dibikin ribet meski harusnya gampang, atau hal-hal lainnya yang konon identik dengan Indonesia.

Tapi mungkin pola pikir kita sejauh ini marilah diubah dulu. Ketika kalian terus mencari jawaban tentang apa yang sudah negara berikan buatmu, maka ubah bunyinya menjadi 'apa yang sudah kalian berikan untuk negara?'

Ok, saya giliran pertama. Buat saya, hal kecil tapi bikin saya senang adalah membantu tetangga saya. Saya punya tetangga yang kita sebut saja sebagai Bu Mawar dan Bu Melati, kebetulan semuanya indah --pada masa mudanya--

Saya mulai dengan Bu Melati yang sering kali mengajak cucunya bermain di pagar sampai masuk laman rumah saya. Saya cukup akrab dengan keluarga itu. Rumah saya dengan kediamannya cuma dipisahkan sebuah restoran. Jika tak ada restoran, maka hitungannya Bu Melati ngontrak di samping rumah saya persis. Ia dan suami bekerja bareng suami sebagai penyedia galon air, tabung gas sampai jasa fotokopi yang jadi satu di kontrakan sempitnya.

Nah saya ini langganan gas dan galon Bu Melati. Sering juga fotokopi di sana. Itu mengapa juga saya sering banget ngobrol dan jadi akrab sejak ia yang pendatang jadi tetangga saya.

Petang sudah menyingsing kala ia momong cucunya tersebut. Saya menyapa, yang kemudian dibalas perempuan berkerudung itu dengan langsung mengeluh karena tak dapat bantuan beras serta sembako dari RT setempat. Kebetulan saya juga baru kebagian tiga kali. Karena tajuknya banpres, harusnya itu merata. Fardu ain! Tak padang orang miskin atau mampu, bantuan presiden ditujukan buat semua.

Asal kalian tahu, bantuan itu memang sudah berjalan sejak pagebluk ini turut menghantui Indonesia. Tak pandang tajir, kere, penghuni tetap sejak lawas atau pendatang, bantuan itu sudah mesti didapat dengan bantuan distribusi dari RT-RT setempat. Yang nggak dapat kupon pun bisa tetap memperoleh bantuan sembako cuma dengan menunjukkan KTP atau Kartu Keluarga.

Ibu Melati bahkan sudah layak dapat bantuan penuh karena memiliki Kartu Keluarga di lingkungan ini. Tapi Melati menegaskan bahwa dirinya sudah sering menegur sang suami untuk mendatangi RT setempat. Tapi suaminya yang memang ikhlas dan tak mau repot bilang, "Udahlah bu, kalau memang hak nanti juga dapat," seru Melati menirukan tutur suaminya.

kolom lainnya:

Katanya, ia dan suami sudah pernah mendatangi ketua hunian RT setempat dengan membawa KTP dan KK, tapi hasilnya nihil. Mereka cuma datang sekali. Dalihnya, mereka dibilang saat itu sudah terlambat, dan untuk berikutnya tetap diharuskan membawa kupon.

Entah ada kesalahpahaman atau tidak, yang jelas saat itu ketua RT memang tak ada di tempat. Sekali lagi, itu klaim ibu Melati.

Pembicaraan di laman rumah saya itu diakhiri azan magrib. Bu Melati masih sesekali menyuapi cucunya. Sebelum ia benar-benar pulang, saya lantas memberikannya beras yang saya dapat sekaligus berjanji untuk menyambangi kediaman ketua RT kami bersama. Karena dengan saya, ia lebih percaya diri ketimbang menunggu sang suaminya yang dianggapnya terlalu pasrah.

Jika bersikap tetap pasrah, maka tidak tepat dan jadi tidak adil. Dengan diam begitu saja, pasangan lansia ini tak mendapat apa-apa sampai awal juli. Saya kemudian menjanjikan akan mengantarnya ketika sesi pengambilan bantuan datang lagi. Padahal dengan KK atau KTP seharusnya mereka sudah bisa dapat bantuan.

Di sini peran Ibu Mawar baru muncul. Perannya cukup berarti buat saya dan Bu Melati. Sebagai informasi Ibu Mawar adalah alasan juga saya akhirnya menerima bantuan presiden itu. Sebelumnya saya cukup cuek. Saya tadinya memang merasa mungkin beras jatah saya dibagi-bagi secara merata untuk yang lebih membutuhkan. Toh saya sepertinya tak merasa masuk kelas yang harus dibantu. Tapi saya naif, saya sering dengar banyak beras sisa atau yang nggak diambil di pemilik hak justru beredar tak semestinya.

Dijual ke tukang beras, ditimbun atau banyak hal lainnya yang bikin saya berasumsi. Nah Bu Mawar ini menjernihkan hal-hal tadi di lingkup saya dan Bu Melati. Saya sebenarnya kerap diskip sama RT baru saya. Pak RT ini memang belum lama menjabat, jadi banyak warga yang belum ngeh banget juga dengan sang ketua wilayah, begitu pun sebaliknya.

Atas bantuan Bu Mawar, saya akhirnya mendapatkan kupon. Hebatnya lagi, tanpa saya melangkahkan kaki ke rumah Pak RT, bantuan itu sudah datang karena diantar oleh adik Bu Mawar. Bantuan pertama pun justru dapat di pertengahan Mei. Di sesi berikutnya, saya coba datang langsung sekaligus berniat berkenalan dengan Pak RT anyar ini, dan lucunya karena petugas di rumah ketua RT setempat itu baru tahu saya wartawan --berkat omongan Bu Mawar--, mereka menawarkan sekarung beras lainnya karena saya di sesi-sesi sebelumnya tak dapat jatah. Sekali lagi, di sini saya belum mendengar keluhan Bu Melati.

"Nggak usah bu, buat yang ngontrak di sekitaran sini aja," lugas saya kala itu. Jelas, di simpul itu saya cukup menyesal karena kalau tahu keluarga Bu Melati bersusah hati sejak awal, lebih baik saya terima lalu estafetkan lanjutan beras tadi. Setidaknya di kontrakan sempit Bu Melati yang diisi banyak anggota keluarga sudah menerima bantuan itu.

Bantuan dari presiden ini memang bukan untuk rakyat miskin saja, sebagai kepala negara situasi pandemik memang genting dan khusus. Karenanya bantuan ini memang untuk semua. Dan akhir cerita ini saya membawa Ibu Melati untuk datang ke tempat ketua RT saat sesi pembagian kupon tiba.

Membantu Ibu Melati itu melegakan, seperti meluruskan sedikit benang yang kusut, atau setidaknya membereskan suatu birokrasi kecil agar kembali tepat sasaran. Seolah memenuhi tugas berbangsa, dari aspek dan perspektif yang begitu kecil dan sederhana.

Soe Hok Gie bukan cuma lantang menyuarakan ketidakadilan negeri, tapi ia juga puitis nan romantis. Ada banyak kutipannya yang menginspirasi perlawanan atas kezaliman penguasa.

Contoh lainnya selain menjadi manusia merdeka yang saya tuangkan tadi, ada ucapannya yang sangat wangi, 'Lebih baik diasingkan ketimbang menyerah pada kemunafikan'. Rima-rima yang Gie yang saya beberkan di awal dan soal kemunafikan tadi memang begitu melegenda.

Tapi jujur saya lebih suka yang kurang populer ini, "Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan."

Kesusahan Bu Melati adalah tanggung jawab sekitarnya. Saya puas bisa membantunya, setidaknya saya rasa itu tindakan benar untuk mengisi kemerdekaan bangsa ini.

Resolusi 17-an kali ini cukuplah jadi manusia yang makin berfaedah untuk sesama. Itu sudah cukup. Jika belum bisa, maka minimal jangan jadi bagian yang menyusahkan.

Komario Bahar 

Redaktur Pelaksana InsertLive

(kmb/kmb)

VIDEO TERKAIT
ARTIKEL TERKAIT
Kolom
Nanti Kita Cerita tentang 2020
Kamis, 31 Dec 2020 09:30 WIB
Kolom
Ketulah usai Ngeledek Ibu Elus-elus Tanaman Hias
Senin, 14 Sep 2020 16:20 WIB
Kolom
Meski Rasa Kalah, Ini Tetap Kemenangan
Minggu, 24 May 2020 08:09 WIB
FOTO TERKAIT
POPULER
DETIKNETWORK