Kolom

Ketulah usai Ngeledek Ibu Elus-elus Tanaman Hias

kmb | Insertlive
Senin, 14 Sep 2020 16:20 WIB
Esai Komario Bahar esai Insertlive, Foto: Ilustrasi esai Komario Bahar / Fandrey Nanda Afindra
Jakarta, Insertlive -

Saya terkekeh. Musababnya tak lain melihat ibu kandung saya tengah asyik mengelap daun tanaman hiasnya yang ia sayang di teras rumah. Ini terjadi di Januari akhir 2020. Indonesia belum kena 'impor' Corona. Atau setidaknya kala itu headline berita masih sering menyerang Pak Anies Baswedan akibat Jakarta banjir karena digempur hujan bervolume tinggi.

Melihat ibu serius sekali mengelap daun tanaman hiasnya dengan susu, saya masih benar-benar tertawa dengan nuansa cenderung meledek. "Biar apa sih?"

"Biar mengilap," seru ibu saya yang sekaligus menjelaskan ia tengah mengelap aglonema dan monsteranya.

ADVERTISEMENT

Saat itu saya masih jauh dari kata kenal monstera --tanaman paling happening di era pandemik ini--, bahkan jenis kuping gajah saja saya belum ngeh-ngeh banget. Asal lebar, saya bilang kuping gajah, meski itu sebenarnya keladi atau mungkin bisa jadi alocasia.

Anda juga asing dengan nama-nama tanaman hias tadi? Tenang, saya nggak maksa Anda baca tulisan saya terlalu dalam. Silakan tinggalkan saja jika esai ini kalau kamu mulai nggak mudeng. Saya nggak maksa.

Pemandangan di teras rumah bareng ibu saya tadi jauh dari hari ini. Saya nggak pernah membayangkan akan menjadi seorang dendrophile --sebutan kece untuk pecinta tanaman hias dan segala hal berbau hutan--. Saya yang dulu bocah malah sempat mengejek ibu saya kala membeli anthurium seharga ratusan ribu. Seperti ketulah, kini saya mencintai tanaman. Bahkan sudah fasih tahu mana keladi, alocasia, monstera atau philodendron serta aglonema. Sumpah, nggak nyangka sampai begini.

Saya mencintai musik dan otomotif. Nggak heran saya menghamburkan uang banyak untuk alat musik kesukaan: gitar. Elektrik sampai akustik cukup lengkap di sudut ruangan rumah. Maksa beli moge (motor 400cc ke atas) di awal-awal kerja jugalah masih termasuk normal karena saat itu saya main ego dan belum punya tanggungan.

Tapi nggak pernah terbesit dalam benak sekali pun saya bisa tertular menjadi pecinta tanaman hias. Sejak pandemik, saya malah kerap mendadani rumah dengan tanaman-tanaman hias baru. Bahkan ketika mal buka lagi setelah sekian lama, saya sudah kehilangan gairah ngemal. Saya lebih merasa tergoda berhenti di tukang tanaman hias pinggir jalan bareng istri sekarang-sekarang ini.


Setelah era anthurium dulu booming, kini di masa pagebluk covid-19, monstera dan aglonema meraja. Dua tanaman ini menjadi luar biasa mahal. Akibatnya alocasia dkk juga ikutan menanjak.

Monstera deliciosa king --tanaman seksi berbelah dan berlubang ukuran besar-- bikin geleng-geleng kepala harganya sekarang. Padahal sebelum pandemik, tanaman ini masih di kisaran harga wajar.

Memang mesti diakui, monstera tetap saja adalah tanaman yang tak banyak stoknya. Masih tergolong sulit, jadi harganya makin membumbung ketika permintaan semakin menanjak. Suatu hari saya (sudah menjadi pecinta tanaman hias) saya bosan cuci mata dan belanja di kawasan Pertanian, Ragunan memilih mencoba-coba ke daerah Tanah Baru Depok yang nggak jauh-jauh dari Jagakarsa.

Di sana, lokasinya dekat pintu tol baru dan kerap macet. Di toko pertama dan kedua dari arah Tugu Tanah Baru, harga tanaman mulai kelewatan. Toko-toko ini persis setelah warteg dan deretan toko pot gerabah. Saya dan istri pernah bertanya alocasia tengkorak di lapak kedua yang harganya ternyata 'nyolot'. Padahal tanaman itu masih sangat ucil bin kecil. Mereka buka harga di Rp250 ribu. Padahal dua daunnya paling tak lebih besar dari ibu jari.

Saya masih ingat penjualnya, ia berambut cepak dan cukup banyak uban di sisi-sisi kiri dan kanannya. Ia menjual alocasia black velvet dengan banderol lebih tinggi dari lapak-lapak lainnya. Awalnya saya masih mengira ia melambungkan harga alocasia dan memberi penawaran murah untuk tanaman lainnya. Tapi dugaan saya salah. Ketika kembali bertanya tanaman lainnya, tetap sama mahalnya. Apalagi jika tanaman itu ada belang putihnya atau yang biasa disebut variegata, banderolnya bisa menanjak lebih gila.

"Untuk kelas atas ini," dalih si pedagang.

Jujur, agak mendidih mendengar ucapannya. Tapi sudahlah, saya paham, pandemik ini bikin panggung baru untuk penjual tanaman hias.

Saya cool, dan memilih nggak akan balik lagi ke lapak si bapak tadi di Tanah Baru itu. Lagi pula, dagangannya seperti menjual Di kawasan Tanah Baru itu, saya lebih suka ke toko-toko yang agak ke tengah. Harga mereka masih sangat wajar.

Lagi pula sebenarnya saya sudah punya langganan. Pertama adalah rekan saya sendiri, Chandra Kurniawan atau yang biasa disapa Kochan. Produser saya di InsertLive itu memiliki bisnis bareng istrinya jualan tanaman hias. Selain pilihannya banyak, harganya masuk akal.

Saya dan dia sama-sama pebisnis kecil-kecilan. Kochan jual tanaman, saya jualan kopi susu selain kerja rutin sebagai penggawa Tendean saban harinya.

Tapi sah-sah saja orang mau jualan mahal dagangannya. Selama pasarnya ada, maka lanjut saja dengan pakem yang ada.

Tapi jujur saya lebih suka belanja di teman, kawasan Pertanian atau Jl Juanda Depok. Di Juanda, saya punya si Nenek Umi yang sering punya koleksi langka tapi nggak pernah jual tanamannya di atas Rp100 ribu.

Nenek umi ini unik, karena kerap menjual tanaman yang reject, kadang ia suka keder sendiri menetapkan banderol. Saya sering dengar dia bilang, "Yang itu golongan monstera nak, mahal sekarang, maaf ya, itu nenek jual Rp60 ribu."

Saya ternyata bukan salah dengar. Bagi nenek Umi, harga membumbung tinggi merupakan permainan. Ia nggak pernah mau mengambil untung gila-gilaan. Karenanya, istri saya senang bukan kepalang bisa mendapat tanaman philodendron black majesty sangat murah di lapak si nenek. Padahal di online shop, jenis itu sudah di atas Rp500 ribuan di ukuran sedang.

"Nenek nggak mau jual mahal, yang murah-murah aja," jelas si nenek.

Oh iya, saya juga pernah memborong monstera adansonii aka janda bolongnya hanya Rp15 ribuan saja satu pot kecilnya. Kala itu saya beli empat langsung.

Saya juga punya langganan di taman Anggrek, Kebagusan yang memang benar-benar kerap didatangi 'kelas atas'. Entah kelas atasnya pemain atau penikmat, yang pasti tanaman-tanaman hias di sana emang bikin ngiler pecinta monstera atau philodendron Cs.

Yang pasti ini beneran kelas atas, bukan seperti klaim si penjual toko kedua Tanah Baru tadi. Bahkan semahal-mahalnya di sana, nggak lebay kayak di Tanah Baru. Reputasi taman Anggrek di Kebagusan sudah wangi sejak rezim Soeharto.

Saya dapat sirih antharium (daun sirih yang bisa sebesar gelombang cinta) cuma dengan menukar uang Rp100 ribu saja. Jika jenis itu ada di lapak kedua Tanah Baru (saya tegaskan dari arah Tugu), mungkin bisa di atas Rp300 ribu. Beberapanya juga masih ada yang di bawah Rp90 ribu.

"Yang lagi rame aglonema di saya memang, saya jualnya juga enak, cepet dan barangnya nggak susah. Jujur sebelum pandemik sebenarnya juga udah rame, tapi dua bulan belakangan memang puncaknya," ucap Udin Gondrong, pria yang sejak masih perjaka memang menggeluti bisnis ini.

Ketika saya sedang asyik ngobrol dengan Udin, di pagi itu juga saya menyaksikan dengan mata sendiri ada seorang pria beretnis Tiong Hoa membelikan ibundanya monstera janda bolong raksasa yang dipatok Rp7,5 juta. Setelah tawar-menawar, mereka deal di angka Rp6 juta. Luar biasa. Saya yang cuma keluar nggak sampai Rp200 ribu saat itu sampai geleng-geleng.

Bahkan monstera varigata, harganya di situs jual-beli online sampai puluhan juta. Ini nggak bercanda. Monstera ukuran besar atau deliciosa king dengan varigata unik seperti bendera misalnya, ada yang menjualnya sampai Rp50 juta.

Saya masih merasa ajaib bisa jatuh cinta dengan tanaman hias sebegitu dalamnya. Nggak terpikirkan juga jadi 'botanis' karbitan yang rela bangun pagi untuk menyiram tanaman alami saya di laman rumah.

Dari dulu saya cuek dengan tanaman hias ibu kandung, tapi anehnya pandemik memang benar-benar efektif mengubah seseorang. Saya yang dulu doyan menghabiskan uang untuk beli gitar elektrik, amplifier, efek atau suka beli knalpot, setang dan velg untuk dahaga otomotif saya sekarang lebih suka mengoleksi tanaman hias yang ternyata perawatannya cukup ribet jika sudah banyak.

Pandemik mungkin bikin buntung banyak pengusaha, tapi yang jelas bukan pengusaha tanaman hias. Satu lagi pesan saya buat ibu-ibu bermobil yang suka beli tanaman tanpa turun dari kursi empuk roda empatnya, kurang-kurangin deh, kadang kalian yang bikin tanaman hias juga jadi makin mahal.

Komario Bahar

Redaktur Pelaksana InsertLive

(kmb/kmb)
ARTIKEL TERKAIT
Loading
Loading
BACA JUGA
UPCOMING EVENTS Lebih lanjut
detikNetwork
VIDEO
TERKAIT
Loading
POPULER