Kolom
Anomali Hari Ini, Kecemasan Para Pengantre Pegadaian
Rabu, 01 Apr 2020 16:07 WIB
Foto: Ilustrasi pegadaian / Rio Insertlive
Anomali. Saya mendadak ke sekolah tempat istri saya mengajar. Penyimpangan setelah berdiam di rumah nyaris tiga minggu harus dilakukan. Sesampainya di laman sekolah berbentuk rumah tinggal itu, saya langsung pesan mie ayam langganan kala tiap antar ibu guru.
"Lima hari saya diem aja di rumah, ini baru buka lagi, Mas. Lima hari nggak dagang boncos," demikian Pak Umar mengeluh.
Jauhkan dulu bayangan Anda tentang gedung sekolah istri saya. Sekolah ini hanya rumah besar di pinggir jalan. Karenanya tukang mie ayam dagang di situ bisa dibeli siapa pun yang lewat di Jl Durian, Jagakarsa.
Bapak tukang mi ayam ini melengkapi 'narasi' kebingungannya dengan mengucapkan, "Ini sampai kapan ya, Mas? Stok mie saya basi nanti, dagang aja tetep sepi. Wis boncos."
Saya coba jadi pendengar yang baik di kala menyeruput mi yamin setengah matang bikinan Pak Umar tersebut. Saya memang mendengar keluhannya betul-betul. Lucunya batin saya minta didengar duluan: "Mi yamin ini kok beda ya, lebih enak dari biasanya?"
Kolom lainnya:
Baca Juga : Sultan Tulen Vs Sultan-sultanan (Jilid II) |
Melakukan semi lockdown di rumah sendiri sejak pertama diimbau WFH, entah kenapa jajan di homeschooling tempat istri mengajar ini jadi jauh lebih enak. Mungkin karena efek sudah lama tidak jajan mi yamin Pak Umar ini. Sama efeknya ketika makan mi instan saat kelaparan, luar biasa enaknya.
Kembali ke topik utama, saya memang sejujurnya tak bisa memberi solusi apa-apa lagi selain membeli mie ayamnya. Kenyang makan bareng ibu guru, saya pesan buat dibungkus. Hitung-hitung biar Pak Umar sedikit tersenyum lihat pemasukannya. Selain itu, tentu saya menimpali obrolannya soal siasat-siasat kecil menghadapi lesunya ekonomi saat ini.
Anomali yang saya lakukan masih di tahap wajar karena sesekali saya mesti membeli sembako dan lainnya. Tentu dengan menaati peraturan pemerintah terkait social distancing sampai perlengkapan yang saya pakai bareng istri ketika diharuskan menyambangi suatu lokasi. Oh, iya, mengapa saya harus ke sekolah? Pasangan saya ini kebetulan dibebani memberi tugas-tugas saja tiap paginya ke murid-murid dari rumah. Tugas ajar-mengajar sejak imbauan pemerintah jadi berbeda.
Kelar bungkus, kami melanjutkan perjalanan ke Kampung Kandang, Cilandak. Istri meminta saya mengantarnya ke ATM di sana. Kebetulan bank di sana memang lengkap beserta mesin setor-tunainya. Kebetulan (lagi) lokasinya tak jauh dari sekolah. Sesampainya di sana, saya mendadak rindu kopi susu kentelan. Toko kopi mungil itu berada persis di samping pegadaian milik pemerintah yang memang terletak di pujasera terkenal di Cilandak. Luar biasa ramai pengantrenya. Mereka berbondong-bondong mengantre panjang ke pegadaian.
Menukar emas, menggadai cemas
Lagi-lagi saya membatin. Di kondisi sekarang, Pak Umar pastilah banyak ditemani banyak orang yang juga sedang bersusah hati. Tak lama, seorang bapak-bapak masuk kedai kopi yang sama. Ia tak membeli apa-apa, namun menyapa sangat akrab sang barista yang sedang sibuk di balik mesin espresso.
"Gile, rame banget. Si Atik mau gade emas antreannya masih panjang bener, (tamu) lo rame?"
"Ini baru tiga sama ini yang mesen," respons sang peracik kopi. Si barista merujuk salah satu dari tiga yang dimaksud adalah saya yang datang ke kedainya.
"Buat makan aja kalau nggak ngegadai udah bingung dah," si bapak kembali menjelaskan situasinya tanpa ditanya.
Kolom lainnya:
Baca Juga : Nyepi untuk Semua yang Beragama ataupun Tidak |
Pujasera itu biasanya sungguh ramai penjual. Tapi kini melompong. Meski masih banyak yang tetap membuka warung, tapi sangat bisa dibedakan hari-hari ini adalah masa suram bagi para pedagang dan 'petarung' jalanan.
Setengah kopi susu saya seruput, saya belakangan juga tahu bahwa pegadaian lain ternyata banyak yang tutup sehingga antrean di cabang ini makin membludak. Tapi jelas, orang-orang memang tengah terhimpit. Sebab ketika jam operasi pegadaian resmi ditutup, masih banyak tamu baru yang datang dan kecewa karena tak dapat uang segar.
Para pegadai barang di sana hanyalah salah satu bentuk sulitnya bernapas sekarang ini. Memaksa jualan, tak ada yang beli. Belum lagi risiko tertular wabah. Diam di rumah saja, kalau kata Pak Umar, bahan makanan untuk jualan basi dan merugi. Paling menakutkan lagi adalah perut keroncongan. Iya kalau sendiri, kalau anak-istri yang keroncongan, agaknya utang sana-sini pun tetap dijalani sembari lihat-lihat barang di rumah yang bisa digadai. Pesan saya cuma satu, hindari pinjol yang punya tabiat berengsek. Sehilang-hilangnya harapan, lebih baik ke lubang lain ketimbang menyerah ke pinjol yang tak diawasi OJK.
Pak Umar dan para pengantre. Mereka menguangkan emas, motor, atau barang elektronik untuk menyambung hidup. Mereka menukar emas, menggadaikan cemas. Ya (cuma) digadai, karena cemas itu bisa datang kapan saja sewaktu-waktu. Setidaknya untuk sementara waktu ini, mereka ingin lupa sebentar akan was-was.
Bertahanlah, jika benar prediksi para dokter --dengan catatan tanpa ngeyel kumpul sana-sini, larangan mudik dipatuhi, PSBB berjalan benar-- Mei nanti akan berakhir pandemi ini di Indonesia.
Semoga mendiang Kasino benar. Kebahagiaan Pak Umar, kita, dan para pengantre pegadaian akan cepat dikembalikan.
Komario Bahar
Redaktur Pelaksana !nsertlive
VIDEO TERKAIT
ARTIKEL TERKAIT
FOTO TERKAIT
POPULER
DETIKNETWORK