Home Hot Gossip Berita Hot Gossip
Kolom

'Pancasalah' dan Ragam Cara Tolak Omnibus Law Hari Ini

kmb | Insertlive
Kamis, 22 Oct 2020 15:18 WIB
Foto: Esai Insertlive Komario Bahar / Ilustrasi: Fandrey N Afindra
Jakarta, Insertlive -

Sasa berteriak. Dengan menderu-deru, suaranya lantang di tengah kerumunan demo. Kala itu mahasiswi bernama lengkap, Nabila Syadza menggaungkan bunyi Pancasalah saat protes UU Cipta Kerja yang diatur omnibus law.

"1. Ketuhanan yang maha hormat 2. Kemanusiaan yang adil bagi para birokrat 3. Persatuan para investor 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat penindasan dalam permusyawaratan diktatornya 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat kelas atas," gaung Sasa yang kemudian bisa ditebak akan jadi viral.

Beberapa pekan kemudian, ada massa berdandan dukun sebagai tanda protes yang unik, lalu ada jemaah yang salat istikarah di depan Patung Kuda di Jl Medan Merdeka Barat, dan hari ini, tepatnya Kamis (22/10) ribuan buruh dan pendemo kembali turun ke jalan untuk memprotes undang-undang yang juga kerap dicap UU Sapu Jagat tersebut.


Contohnya dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) demo menolak omnibus law atau UU Cipta Kerja hari ini di Istana Negara, Jakarta Pusat. Siang tadi mereka sudah berbaris dan berteriak menyampaikan protes di depan Istana Merdeka. Orasi dan orasi. Mereka tak lelah demi didengar.

Kerumuman massa dari KASBI siang ini ditemani oleh mahasiswa UNAS. Barisan mahasiwa berjaket hijau turut bergabung menyuarakan aspirasi.

Kritis tajam Sasa atau contoh damai lainnya tentu jauh lebih baik daripada tindakan anarko yang membakar fasilitas negara di hari pertama memuncaknya gelombang protes.

Atau kalau boleh, aktor muda Jefri Nichol yang ikut turun ke jalan patut dicontoh selama tak merusak atau merugikan fasilitas negara. Sayangnya kita tak bicara soal Sasa atau Jefri Nichol di sini.

Ada banyak cara berdemo menolak omnibus law yang dianggap tak berpihak kepada buruh karena dalam penyederhanaan aturan yang dianggap terlalu kaku dan ruwet untuk investor.

Tulisan saya bukanlah busur panah yang dilempar untuk menghujam ke salah satu pihak. Ini bukan esai mengenai mana benar-salah, dan bukan juga menjadi utas 'peradilan'.

Mari sejenak melihat masalah dari segala penjuru. Perspektif untuk omnibus law yang diprakarsai Luhut Panjaitan melalui pengakuan sang Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia kemarin.

Semua yang gigih berdemo membawa pesan masih sama, mereka menolak kebijakan itu. Tapi rasa-rasanya saat ini, menggugat UU Cipta Kerja itu ke MK adalah langkah yang paling tepat.

Tidak usah rumit-rumit memahami isu ini. Omnibus law dianggap pro-investor tapi bisa bikin pekerja buntung karena bisa di-PHK atau dicut seenaknya oleh perusahaan. Tentu kalian tahu bahwa orang yang masih bisa bekerja di perusahaan itu termasuk kaum beruntung mengingat banyak yang kehilangan mata pencaharian.

Tapi boleh jadi ini adalah juga solusi nantinya. Resesi sudah dialami Indonesia, sah dan berstatus resmi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan ekonomi kuartal III-2020 akan berada di kisaran minus 1% hingga 2,9%. Ekonomi Indonesia di kuartal II-2020 berada di minus 5,3%. Dampak resesi nyata. Resesi bikin pengusaha Indonesia berdarah-darah. Ancaman kredit macet di sektor usaha formal juga sudah mengintai nyata.

Sisi positif dari omnibus law adalah menyederhanakan regulasi hingga bisa meyakinkan investor asing agar tetap menanam modal di Indonesia. Singkatnya, Tanah Air pelan-pelan memulihkan ekonomi jika investor sudah banyak yang yakin lagi berbisnis di sini.

Melansir CNBC Indonesia, omnibus law yang disahkan 5 Oktober lalu secara meyakinkan pasti akan menderaskan investor ke Indonesia.

Dalam rujukan yang sama saya mengutip berita tentang rencana Tesla untuk membuat pabrik baterai di sini.

Dampak terdekat justru bisa menciptakan lapangan pekerjaan lagi ketika kondisi ekonomi yang perlahan pulih.

Sesuai anjuran presiden, pilihannya mudah: jika tak puas dengan UU Cipta Kerja maka mari gugat ke MK. Jika kamu ada di sisi satunya, maka pegang janji Luhut: pengusaha yang tak beri pesangon bisa dipidana. Karena dalam omnibus law, hak-hak pekerja yang diputus kerja secara sepihak ditegaskan tetap dilindungi.

Tapi jika tidak puas, maka turun ke jalan juga merupakan opsi selain menempuhnya via jalur peradilan.

***

Berbeda dengan platform medsos yang tanpa aturan dan kerap mengaburkan jati diri asli, menulis esai itu selalu melegakan. Menyampaikan sudut pandang secara dewasa dan bisa dipertanggungjawabkan.

Kegelisahan tertuang. Suara tersalurkan meski tanpa intonasi dan degungan. Katarsis seorang jurnalis adalah tulisan bak pelukis via kanvas dengan kuasnya. Tak beda dengan buruh dengan suaranya di ujung megafon.

Widji Thukul pernah bilang "Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan!"

Kali ini lawanlah dengan vokal selantang-lantangnya di jalan tanpa merusak, atau bawa suaramu ke Mahkamah Agung.

Komario Bahar

Redaktur Pelaksana InsertLive

 



(kmb/kmb)

VIDEO TERKAIT
ARTIKEL TERKAIT
Kolom
Nanti Kita Cerita tentang 2020
Kamis, 31 Dec 2020 09:30 WIB
Kolom
Anotasi di 17-an Kali Ini
Senin, 17 Aug 2020 08:05 WIB
FOTO TERKAIT
POPULER
DETIKNETWORK