Home Hot Gossip Berita Hot Gossip
Kolom

Vakansi Jurnalis di Hotel Tua Lombok

kmb | Insertlive
Kamis, 11 Jun 2020 12:46 WIB
Ilustrasi kolom Insertlive Komario Bahar / Fandrey N Afindra
Jakarta, Insertlive -

Enaknya menulis esai atau kolom, Anda punya ruang gerak sebebas-bebasnya. Mengeluarkan opini sebuas-buasnya, setajam-tajamnya dan sehormat-hormatnya. Kata hormat untuk mewakili opini yang semestinya penuh analisis serta tanggung jawab bagi seorang kolumnis.

Saya bisa saja menulis tentang kasus rasisme di Minneapolis yang menyita atensi paling besar dua pekan belakangan, atau bisa saja menguak fenomena Keke si bukan boneka jika niat. Tapi ini adalah sesuatu yang lebih mengganggu saya.

Hal yang tak pernah saya lupakan sekaligus meruntuhkan kesombongan yang ada. Mungkin esai ini akan bernuansa seperti cerpen, tapi saya tak peduli. Saya cukup lama memendamnya agar cuma jadi bahan omongan sekeliling tanpa terjejak di jagat maya. Dan betul, saya merasa sekaranglah saatnya saya tuangkan.


Sudah jadi hukum pasti kami para jurnalis akan diganjar vakansi satu kantor oleh perusahaan. Saat itu saya masih jadi jurnalis di detikcom, belum bergabung dengan keluarga besar InsertLive --yang sebetulnya pun masih lingkup detiknetwork--. Biasanya reward itu datang setiap dua tahun sekali. Jelas raga dan rohani butuh hiburan usai berjibaku dan berkutat dengan dunia pergosipan: entah itu gosip politik, olahraga, ekonomi sampai industri hiburan. Kami semua memang berhak diganjar refreshing yang kami sudah tunggu-tunggu.

Bos besar akan memberikan kami hadiah outing ke luar kota (atau dulu saat masih terhitung hijau di detikcom ke luar negeri). Outing pertama saya bareng kantor dulu melancong ke Singapura di 2010. Negara yang buat saya membosankan --karena liputan pun sering, uhuk...--, tapi tetap ceria karena jalan-jalannya bareng satu kantor dan dari semua kanal.

kolom lainnya:

Destinasi outing kedua adalah Bali (2012), pulau yang tak pernah membosankan dan kerap ngangenin. Tapi outing ketiga kalinya menjadi yang takkan pernah terlupa: Lombok. Outing ini istimewa karena kebiasaan dua tahunan sekali itu sempat terlanggar tradisinya akibat mengalami pengunduran jadwal.

Walhasil vakansi itu baru terjadi di 2016. Bahkan karena outing Lombok, rekreasi saya terakhir bareng detikcom di Bangka Belitung (2018) tetap nggak segereget outing di daerah eksotis Nusa Tenggara. Kami yang biasanya saban hari ketak-ketik di depan laptop, mantengin CMS, keluyuran di jalan raya, di depan pagar rumah artis, nongkrongin dinginnya emperan ubin DPR/MPR atau yang biasa selonjoran di lorong-lorong Polda Metro Jaya kini bersatu padu untuk sekadar cooling down.

Kami bersenda-gurau untuk sejenak melupakan kegaduhan pergosipan. Ya, kalian yang sotoy bilang gosip cuma milik industri hiburan kayaknya perlu open minded lagi. Rumor bukan cuma milik kanal hiburan, tapi semuanya. Dari kanal sepakbola yang biasa ngurusin rumor klub dan pemain sampai panggung politik.

Setiap pelesiran satu kantor, kami berusaha total bersenang-senang, meski sesungguhnya pasti ada sekelumit gangguan karena mesti sesekali cek-cek berita biar nggak typo. Memang ada yang tetap bertugas jaga arus berita. Bedanya yang piket itu akan menaikkan warta sekenanya saja. Karenanya wajar berita kami kala itu nggak sederas biasanya. Tapi beginilah wartawan, kami juga berhak bervakansi agar jiwa tak terlalu kerontang. Liburan demi rohani yang lebih segar menyambut tugas-tugas ke depan.

Tiba di Lombok, kami menempuh perjalanan yang cukup panjang sebelum beristirahat di hotel karena mampir-mampir ke pasar dan pedalaman suku Sasak. Akhirnya kami tiba di tempat peristirahatan yang menjadi poros semua cerita ini berasal. Saya masih ingat, outing itu diadakan pertengahan Mei di 2016. Kami yang biasanya jadi mesin berita diberikan waktu pelesiran tiga hari mereggangkan otot jari-jari. Hotel kami menginap cukup cantik, tapi memang tua.

***

Seumur-umur saya nggak pernah ditampakkin hantu. Nggak pernah punya 'rencana' juga diganggu pertama kalinya dalam hidup saat rekreasi kayak gini. Saya percaya adanya mereka karena jelas juga di kitab kepercayaan saya, tapi sejauh ini saya cukup skeptis dan percaya diri nggak akan pernah diganggu mereka lantaran saya agaknya nggak masuk kategori dan memenuhi syarat 'diuji'. Iya betul, maksud saya itu saya nggak alim dan juga bukan sosok kelewat bedebah untuk 'dites' sama makhluk astral. Ya biasa-biasa ajalah.

Malam pertama di hotel itu tentu kami menghabiskan waktu untuk nongkrong. Kebetulan hotel tua ini memang punya view dan sudut-sudut luar biasa nyaman dan indah. Di Senggigi ini, hotel kami menghadap ke pantai. Balkon kamar saya pun demikian. Sempurnalah.

Ada banyak spot-spot cozy macam pendopo untuk ketawa-ketawa sampai bego. Tentu saja, malam itu adalah malam 'keakraban' yang akan panjang. Kami yang biasanya cuma bertegur sapa di kantor seperlunya jadi lebih dekat karena nongkrongnya di satu kawasan hotel yang sama tanpa terlalu cemas mikirin berita.

Singkat cerita, kami yang sudah puas bersenandung sampai ngakak tanpa henti memutuskan untuk beristirahat. Kurang lebih waktu telah menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Ini waktu Indonesia bagian tengah. Obrolan kami pun sebenarnya menyenggol atmosfer hotel yang memang agak menyeramkan ketika matahari terbenam. Tapi hal-hal begitu takkan pernah mengganggu karena kami telanjur larut dengan keseruan yang ada.

kolom lainnya:

Atmosfer ngeri itu sebenarnya sudah terasa sejak kami tiba menginjakkan kaki di hotel. Namun cantiknya lokasi hotel ini mengalahkan nuansa seram tersebut.

03.15 WITA saya memutuskan kembali ke kamar. Kebetulan tongkrongan juga mau bubar. Sedikit menelusuri jalan setapak di taman berlampu temaram, saya masih tenang. Saya sekamar dengan rekan yang mengurusi kanal musik. Kebetulan kuncinya memang cuma satu dan saya berikan kepada teman sekamar saya itu. Tentu sudah pasti saya pasti akan mengetuk pintu untuk membangunkannya. Valid sudah kan tuanya hotel ini. Sebab, hotel sekarang biasanya sudah menggunakan kartu.

Tak lama, Dicky terbangun membukakan pintu, "Buset, baru kelar lo mas jam segini."

Rekan saya itu tadinya sudah pulas dan mungkin tengah mimpi diving bareng ikan Nemo di Gili Trawangan karena agenda itu memang ada di hari kedua. Dan tak lama ia gampang melanjutkan tidurnya lagi yang tadi sempat terputus.

Beres cuci muka dan tangan, saya mau langsung menyusul rekan saya tersebut. Sial, sebelum benar-benar pulas, dengan randomnya, saya tahu-tahu dibayangi wajah nenek-nenek menyeringai lebar tanpa badan. Bedebah! Saat itu jelas mata saya sudah terpejam. Saya terperanjat melek.

Mengangkat setengah badan padahal sudah enak rebahan, saya agak bengong, berpikir. Kalau memang cuma numpang lewat di otak yang setengah sadar, kok kayaknya nyata banget.

Tapi kesialan dini hari tak cuma sampai di situ. Jeda lima menitan, tembok dekat langit-langit atas mendadak digebrak kencang. Saya nggak mau menggunakan 'seperti' di depan kata 'digebrak' lantaran memang ini nyata terdengar semacam ada tangan besar menghantam tembok dekat sela-sela jendela.

Ditambah rel dan gordennya memang bergetar. Benar-benar tak sampai semenit, tawa perempuan langsung menyingsing. Ah bangsat, muka nenek-nenek tadi langsung mengerucut lagi di benak. Tertawanya tak terlalu keras, tidak juga tipis-tipis. Tapi yang pasti, sound-nya memang nggak malu-malu. Tawa itu jelas bulat-bulat dicerna telinga tanpa samar-samar.

Tapi untungnya saya mampu mencoba stay cool. Bukti saya coba tenang itu, saya sih nggak sampai goyang-goyang tubuh Dicky buat nyamain persepsi apa yang saya baru dengar. Saya pilih mengkonfirmasi hal itu di kemudian hari. Mungkin karena rasa kantuk dan lelah, saya menang atas perasaan takut dan bisa tetap tertidur di waktu yang sebenarnya singkat. Besoknya saya juga sudah bisa mengikuti agenda outing yang padat dengan perasaan segar. Sebab Gili Trawangan dan Meno cukup bikin batin bahagia.

Barulah di hari terakhir, saya menceritakan langsung pengalaman ini sepanjang perjalanan pulang di bis menuju bandara.

Bicara horor, Lombok masih satu-satunya kejadian paling telak di hidup saya. Sedangkan kala memutuskan membuat esai ini, teman di InsertLive, Fandrey dan Andre (bukan kakak-adik juga bukan pasangan) ternyata juga menyimpan pengalaman lebih resek.

Fandrey mengaku sudah akrab melihat pocong sejak kecil. Klaim yang cukup saya percaya selain petualangannya dengan para mantan. Beda lagi dengan Andre si anak Medan yang ngekos di Jakarta karena jadi karyawan Tendean sejak dua tahunan lalu. Andre pernah dielus-elus tangan gaib seputih kertas yang menembus tembok di tempat kos pertamanya di bilangan Radio Dalam, Jakarta Selatan. Alasan tadi cukup membuatnya pindah kos dekat Tendean. Karena selain lebih irit bensin, konon banyak sales-sales cantik yang juga kos di Mampang yang tempat barunya.

kolom lainnya:

'Rumah' baru saya di InsertLive konon juga konon banyak makhluk astralnya. Gedung yang terhitung paling muda dari semua gedung yang ada. Dari salah satu rekan, saya baru tahu Roy Kiyoshi sempat media visit ke sini. Ia menggambarkan tempat kami bekerja penuh makhluk halus. Kebetulan atau tidak, gedung ini dulunya adalah lokasi syuting Liga Paranormal. Setidaknya begitu yang saya tahu.

Tapi saya sih tenang-tenang saja kok. Sebab, gedung detikcom yang dulu berletak di Buncit, ada si 'Lastri' yang juga nggak kalah menakutkan kisah-kisahnya. Mungkin lain kesempatan saya ceritakan. Tapi buat saya setan itu tak terlalu menyeramkan ketimbang kerja doang nggak outing-outing.

Komario Bahar

Redaktur Pelaksana InsertLive

(kmb/kmb)

VIDEO TERKAIT
ARTIKEL TERKAIT
Kolom
Nanti Kita Cerita tentang 2020
Kamis, 31 Dec 2020 09:30 WIB
Kolom
New Abnormal Penonton Bayaran
Jumat, 05 Jun 2020 14:30 WIB
Kolom
Meski Rasa Kalah, Ini Tetap Kemenangan
Minggu, 24 May 2020 08:09 WIB
Kolom
Aplikasi Malaikat Online Adalah Bentuk Insecure Akidah
Selasa, 12 May 2020 18:44 WIB
FOTO TERKAIT
POPULER
DETIKNETWORK