Meski Rasa Kalah, Ini Tetap Kemenangan
Waktu menunjukkan pukul 5.38 WIB. Dalam posisi setengah tengkurap dibalut sayup-sayup rasa kantuk, saya terbiasa mendengar derap-derap kumpulan calon jemaah yang berjalan dengan renyahnya di pagi yang istimewa ini. Terbiasa mendengar lantunan takbir dengan banyaknya suara gesekan sandal beradu aspal dari balik jendela kamar. Gesekan alas kaki yang lebih ramai dari hari-hari biasa. Mestinya sudah terdengar. Sedianya pagi ini. Biasanya begitu.
Kebiasaan saya selanjutnya mencoba pulas sesaat lagi tak jauh dari menit-menit saya mengintip. Tapi saya mestinya akan tetap separuh terjaga karena suara langkah calon jemaah itu malah makin menonjol di jalanan yang lengang. Seretan sandal dan aspal itu lebih nyaring karena knalpot-knalpot panas yang biasa seliweran di jalan sedang diparkir pemiliknya. (Masih) Biasanya juga, ada celoteh berisik anak-anak sembari berlarian dengan riang. Suara itu bersahut-sahutan dengan senandung puja-puji Sang Khalik yang datang dari jamaknya pengeras suara di titik-titik berbeda.
(Mestinya) Mereka menuju masjid, musala, lapangan atau aula beralas terpal untuk melaksanakan ibadah di puncak kemenangan setelah sebulan berpuasa. Harusnya begitu... Ah, tapi atmosfer saban tahun yang syahdu itu benar-benar lenyap kali ini. Pagi ini rupanya cuma ditemani takbir yang masih merdu sekaligus nostalgia yang tak jauh-jauh amat dari hari ini.
Suara seretan sandal itu hanya sesekali terdengar. Dan saya yakin itu hanya orang lewat, bukan calon jemaah yang berbondong-bondong dengan koko cerah dan sajadah bersihnya. Syiar takbir pagi ini juga beda; lebih tipis ketimbang semalam. Tapi bagaimana pun, hari kemenangan sudah tiba.
Atmosfer yang masih sama adalah begitu banyaknya kendaraan di jalanan depan rumah yang bahkan sempat macet di malam akhir Ramadhan. Entah mereka mau ke mana di malam takbiran. Maklum, rumah saya di Jagakarsa memang berada persis di pinggir jalan raya. Sehingga saya bisa jelas mendengar bisingnya kendaraan yang berkerumun di depan gerbang rumah atau cuma kelompok orang berjalan kaki tengah melintas. Meski indera pendengaran jadi terpaksa terlatih, ada taman kecil yang bikin hunian tua ini masih agak nyaman untuk ditinggali. Saya juga terbiasa melihat TransJakarta mini lewat di depan gerbang rumah. Ya, sedekat itu.
Sadar pagi ini datang agak tak akrab, saya lantas mulai mengais puing-puing kesadaran yang kadang masih ingin dimanjakan agar kembali terlelap. Parahnya, badan masih menuntut istirahat karena baru diterjang meriang tinggi sebelumnya. Untungnya, wangi sayur godok dan sambel goreng ati petai yang dihangatkan di sudut dapur cukup mengusik. Pagi ini aroma-aroma itu masih jitu membangkitkan tubuh dari ranjang. Bersiap mandi, mengambil wudhu.
Lebaran sekarang memang beda, cenderung asing. Mengerti sekarang saya nggak bisa colongan tidur-tidur ayam lagi di aula sambil menunggu iqomah salat Id. Saya sekarang imamnya. Imam dari makmum tunggal.
***
Ada rasa kalah di balik kemenangan. Saya tak mampu jabarkan rinci kekalahan macam apa yang menimpa kita semua. Terlalu banyak untuk dipereteli satu demi satu. Dari yang setingkat raja sampai sahaya, koleksi dosa Indonesia cukup lengkap di masa sulit ini. Tapi rasanya perlu saya gelontorkan beberapa contoh lembaran keoknya kita yang paling telak. Iya, kita, Indonesia.
Berjubelnya orang memburu baju baru di mal-mal yang baru buka jelang Idul Fitri kemarin, itu kekalahan. Antrean membludak di bandara juga kekalahan. Kita yang masih belum bisa melangkah ke rumah ibadah, itu masih wujud kekalahan. Sedih.
Dari tiga kekalahan tadi, dua pertama adalah penyakit kosmopolis bangsa kita yang tergolong klasik dan akut. Susah sembuh lantaran dalihnya mengatasnamakan rindu.
kolom lainnya:
Baca Juga : Diksi-diksi Sableng Pesohor |
Seorang Aa Gym, yang menurut saya adalah dai paling adem dari zaman dulu sampai sekarang, bahkan mengatakan ikut jengkel lewat postingannya karena penyakit-penyakit klasik Indonesia di atas.
"JENGKEEEL, kecewaaa, sediiiih, merasa dikhianati." begitu Aa Gym ngedumel.
Namun bukan Aa Gym namanya kalau ujung-ujungnya nggak bikin adem situasi dengan tausiah online singkatnya melihat hal tersebut.
Dengan kelembutannya, pria bernama asli Abdullah Gymnastiar sosok getol mengingatkan untuk di rumah saja karena sesuai sunnah untuk masa-masa sulit sekarang. Memang rasa jengkel itu sangat related lantaran kamu yang disiplin merasa dikhianati begundal-begundal abai social distancing. Gerombolan pemburu baju Lebaran di mal-mal tadi. Kelompok yang malu tanpa setelan baru di hari raya.
Aku, kamu, kalian masih terpaksa sering ke supermarket untuk membeli kebutuhan dapur. Jujur saja, belanja sembako di mini market saja sudah terasa refreshing. Keluar rumah untuk belanja mi instan di warung ber-AC saja sudah benar-benar terasa menyegarkan bukan main di tiga bulan terakhir ini. Tetap senang meski di ujung pembayaran kerap ditanya-tanya 'Pulsanya sekalian? Mau tebus murahnya Kak?'
Tak perlu ditekankan lagi. Jelas belakangan kita merasa penat. Kalau boleh sedikit berlebihan, kita mengalami klaustrofobik ringan akibat di rumah berbulan-bulan. Seperti kelomang yang bernapas kurang leluasa sebab dipaksa terkurung lama dalam cangkang.
Tapi ya kan nggak kayak pepes bandeng juga dengan bergerombol antre masuk pusat perbelanjaan. Belanja kebutuhan bukan berdiri mengular di pintu masuk nonton konser John Mayer. Sesaknya pintu mal oleh pemburu-pemburu baju Lebaran pendek akal mal, bisa dibayangkan kebodohan itu jadi lebih horor karena salah satu kasir di sana terbukti positif covid-19. Saya juga haqqul yakin mereka tak tahu pasti apakah benar bebas corona atau nggak.
kolom lainnya:
Baca Juga : Harta, Takhta, Agama |
Pengelola serta sektor keamanan yang nggak siap dari mal tadi juga menjadi pihak yang bisa dipersalahkan bulat-bulat. Mereka nggak siap sama sekali dengan noraknya pengunjung lapar hiburan dan haus setelan busana baru hari raya.
Terasa masih memaklumi untuk pasar tradisional yang sesak pembeli ketimbang mal. Setidaknya (meski tak bisa dibenarkan juga), para pembeli kebutuhan dapur itu tak bergesekan kulit dengan lainnya. Sementara 'tamu-tamu' mal yang kita bahas jelas terlihat lebih tak peduli dengan kondisi mereka yang sudah saling bersentuhan.
Jauh-jauh hari, entah kenapa memang masih yakin akan ujung cerita covid-19 di dalam negeri. Masih menguatkan dugaan baik, memperkaya prediksi positif untuk hilir yang happy ending. Bahwa kita bisa benar-benar bangkit seperti negara lain di Mei ini. Minimal sekolah dibuka lagi, atau saya ngantor lagi dengan standar normal anyar seperti bangsa lainnnya. Mencontoh bangsa lain yang mulai berdiri usai dipaksa tengkurap lama karena wabah.
Tapi ternyata tidak. Nggak sama sekali. Indonesia sekali lagi membuktikan punya banyak sekali stok warga berkepala bebal. Realita yang bikin kita memaklumi: kita masih jauh dari kebangkitan.
Menengok warta masyarakat berdesakan masuk mal, tentu saja bikin pengin mencaci. Tapi saya ingat saat itu, saya terlalu haus dan lapar buat melempar umpatan. Beduk buka pun masih lama. Jadi ketimbang buang energi dan pahala, saya pilih cara lain melampiaskannya. Salin potongan gambar berita ambyarnya, jari-jemari bandel kemudian melanjutkan tugas.
Tapi parahnya, kekalahan-kekalahan tadi belum cukup. Masih disusul lagi dengan hal lain. Tanpa jeda, kekalahan telak juga datang dari 'camp-camp' penolong pasien. Itu di mana saat sebagian tenaga medis yang lelah memutuskan menggaungkan narasi frustrasinya di bunyi-bunyian 'Indonesia terserah' atau 'Indonesia, suka-suka kalian'. Kita keok.
Linguistik yang digunakan tenaga medis menusuk. Sama sekali nggak meleset. Karena memang itu kenyataannya. Segelintir kecil tenaga medis mengangkat bendera putih.
Lalu kekalahan paling 'paripurna' jelas terjadi pada 21 Mei kemarin. Lonjakan paling membahana atas bertambahnya pasien positif si virus C. Nyaris 1.000 orang masuk statistik merah. Torehan itu adalah rekor.
Khusus di Indonesia, seperti omong kosong bicara normal yang baru jika kekalahan kita yang nggak karu-karuan tadi sendiri telah jadi 'normal baru'.
Sekali lagi, ini Ramadhan dan awal Syawal rasa baru. Kabar baiknya, di antara banyak keambyaran yang ada, buat sebagian orang justru merasa bulan suci tahun ini begitu khusyuk dan nikmat. Kabar baik untuk kaum-kaum yang menghargai imbauan, mematuhi protokol, dan sangat memedulikan keselamatan orang lain.
Sebab, golongan-golongan itu justru merasa kerja dan ibadah di rumah selama berbulan-bulan dapat memusatkan fokus. Rewardnya, mereka bisa menaikkan kualitas ibadah, mendekatkan diri ke Penciptanya yang sebelumnya sangat berjarak.
Ayolah jujur, kamu yang kerja di rumah saja juga merasa aman dari ujian emosi jalanan beringas ibu kota yang biasa rutin terjadi setiap berangkat atau pulang kerja kan? Menjaga mulut dan pikiran buruk tetap yang tersulit.
Maka di balik kekalahan-kekalahan tadi, ada kemenangan mutlak untuk orang-orang yang memilih menjalani ibadah dan puasa dengan potensi paling maksimal di masa-masa ini. Hamba-hamba tauladan, bukan kaleng-kaleng macam gerombolan pemuda sok alim yang dungu melakukan persekusi ke pagar rumah Haji Aselih akibat sewot diadukan 'tarawih berjemaah' ke Pak Anies.
Konon musuh tak terlihat memang lebih bengis. Teman dekat dengan 'topeng', setan, ego, dan kini virus baru yang belum ada penawarnya. Virus yang menghalangi kita dari kegiatan hangat macam bukber, tarawih dan salat Ied bareng, sampai salam-salaman di hari istimewa.
Tapi virus juga membawa sebagian orang menuju kemenangan paling puncak kausa sukses mengendalikan hawa nafsu lebih baik ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Virus baru yang resek, tapi tak menghalangi orang-orang buat kembali ke fitri.
Di balik kekalahan dan keambyaran yang sering kita baca di media dan medsos, ada baiknya kalian menutup aplikasi-aplikasi itu sementara untuk hari ini. Balas saja WhatsApp teman, kerabat dan siapa pun yang meminta maaf di momen ini. Lakukan sebaliknya juga dengan mengilas-balik dosa-dosamu. Memulai percakapan dan memohon maaf lebih dulu.
Jika sudah, letakkan ponselmu jauh-jauh, santap ketupat dan opor ayam buatan istri atau ibumu di rumah. Nikmati lagi masa-masa ini. Karena bisa jadi, kisah kita di 2020 yang berat akan jadi hikayat kekal saat berseloroh dengan keluarga di Lebaran-Lebaran berikutnya.
Wajar kalau sejenak kamu rindu suasana Lebaran tahun-tahun kemarin. Karena saat menuntaskan narasi-narasi esai ini, saya juga tengah membayangkannya.
Redaktur Pelaksana Insertlive
***
Insertlive mengucapkan selamat Idul Fitri 1441 Hijriah, mohon maaf lahir dan batin.
(kmb/kmb)