Home Hot Gossip Berita Hot Gossip
Esai

Jenazah Bayi di Freezer: Fakta Miskin Wajib Diperangi, Bukan Didramatisasi

Komario Bahar | Insertlive
Rabu, 05 Jul 2023 18:04 WIB
Foto: Esai Komario Bahar / Executive Editor InsertLive
Jakarta, Insertlive -

Hari ini, Rabu (5/7) berita sedih datang dari seorang ayah di Ciledug yang menyimpan jenazah bayinya di freezer karena tak mampu membayar biaya pemakaman. Berita memilukan dari sudut Jakarta berbagi batas Kota Tangerang.

Sementara di laman lainnya, ada kaum-kaum yang berlomba-lomba akan validasi label Crazy Rich. Memamerkan otomotif, kolase traveling, pencapaian-pencapaian lainnya, atau sekadar menunjukkan keseharian mereka yang terkesan 'eksekutif' di beragam medsos yang mereka punya. Minimal dikira orang 'berada' jika belum masuk kategori 'si tajir gila'. 

Kontras. Ayah nelangsa itu kehilangan bayinya yang meninggal, bahkan diduga sudah tak bernyawa sebelum ibunya bersalin, sementara di sisi lain masih ada yang jemawa mendapatkan tiket Coldplay dengan harga nggak wajar. Yang penting mampu beli, meski mungkin mereka cuma tahu beberapa tembang band yang tadinya bernama Star Fish tersebut. Belum lagi 'hegemoni' war tiket Taylor Swift yang kemarin juga gaduh. FOMO akut juga penyakit hari ini. 


Soal si miskin dan si kaya, tampaknya kini memang sudah salah kaprah. Sejak lama yang saya tahu kemiskinan itu menjerit sementara si kaya berbisik.

Yang kaya betulan akan sangat tidak aktif dan showoff untuk memamerkan kekayaannya di platform digital apa pun, sementara miskin akan menjerit dan berteriak karena kemiskinan memang begitu menyeramkan.

Sementara yang terjadi hari ini adalah sebaliknya. Yang (seolah) kaya itu flexing sana-sini dan banyak koar-koar. Sementara si miskin terdiam, sampai-sampai bilang tak punya biaya pemakaman anak saja tak ada daya.

Indonesia begitu nyaman dan akrab dengan media sosial sampai mereka tak sanggup lagi membatasi masalah atau konten yang perlu dibagikan atau lebih baik disimpan saja dałam pikiran. Padahal menikmati sesuatu sampai kelupaan posting di medsos adalah kenikmatan sejati dalam hidup. Benar-benar hidup, tanpa risau melakukan aktivitas, tanpa cemas untuk sekadar terganggu sampai overthinking 'apakah yang saya lakukan tadi sudah update apa belum?'.

Sementara mirisnya juga banyak yang drama dengan kemiskinan yang dibuat-buat sendiri. Si miskin sebenarnya adalah golongan orang yang selalu merasa kurang, lalu mengkreasi hal itu secara drama di beragam diskusi, nyata atau pun maya. Seperti berlagak miskin di medsos tadi. Pura-pura miskin lebih berbahaya dari miskin betulan.

Tanda kamu memiskinkan dirimu yang paling sederhana adalah tidak membayar utangmu meski kamu mampu. Tanda lainnya adalah memaksakan membeli barang yang kamu ingin, bukan kamu butuh. Korban paylater serta pinjol jahat untuk Indonesia tak perlu lagi ditanya. Mungkin Indonesia adalah salah satu negara mental paling miskin gagal bayar utang, soal ini bahkan datanya setahu saya ada dan terkonfirmasi.

Sementara itu, flexing masih ampuh di media sosial untuk mendapat sanjungan adalah toksik sejati di Indonesia ini. Orang-orang kita sangat butuh afeksi, emot love/like atau follower yang menyervis dopamin di otak mereka. Karena itu Tiktok dan medsos lain begitu berkuasa di era kini, padahal beberapa pembuktian tak perlu 'dibuktikan' keras-keras agar sema orang tahu.

Menunjukkan kesenanganmu boleh, asal bukan dipaksa ada, atau mengada-ada. Lakukan apa yang membuatmu bahagia, dan seperlunya. 

Kembali ke kasus ayah menyimpan mayat bayinya di freezer adalah tanda kita harus serius memerangi kemiskinan, bukan justru mendramatisasi kemiskinan.

Cara perang itu sebenarnya tidak usah dari langkah yang besar-besar, namun menyadari kapasitas diri sendiri akan finansial sebenarnya cukup. Jika kamu memang belum seimbang membeli rokok sekaligus kopi susu gula aren yang kini jadi kebutuhan primer, maka ganti kopimu lagi ke saset. Atau hentikan kebiasaan merokokmu sekalian jika dengan gajimu saat ini, dua kebiasaan itu menguras banyak pendapatan atau tabunganmu.

Kuncinya adalah seni merasa cukup. Merasa cukup dengan gajimu, merasa cukup dengan tidurmu, merasa cukup dengan senang-senangmu yang diimbangi dengan rasa cukup dengan Tuhanmu.

Karena setahu saya, kalau gaya hidupmu tak sesuai dengan penghasilanmu, rasa si miskin itu akan terus menghantuimu sepanjang hidup.

Sekali lagi ingat, 'Poverty screams but wealth whispers' // kemiskinan berteriak tapi kekayaan berbisik //.

Komario Bahar

Redaktur InsertLive

(kmb/kmb)

VIDEO TERKAIT
ARTIKEL TERKAIT
Esai
Al Zaytun Sesat, Titik.
Kamis, 22 Jun 2023 15:24 WIB
Esai
Lakon Sambo, Bukan Rambo...
Selasa, 09 Aug 2022 21:51 WIB
Kolom
New Abnormal Penonton Bayaran
Jumat, 05 Jun 2020 14:30 WIB
Kolom
Nyepi untuk Semua yang Beragama ataupun Tidak
Rabu, 25 Mar 2020 19:00 WIB
FOTO TERKAIT
POPULER
DETIKNETWORK