Recap JILF 2025, Merayakan Kata dan Perlawanan lewat 'Homeland in Our Bodies'

dis | Insertlive
Senin, 17 Nov 2025 14:15 WIB
Khambali Foto: InsertLive/Dias

Khambali: Potret Ketidaksetaraan Penyandang Disabilitas di Indonesia

Hak penyandang disabilitas di Indonesia masih digaungkan di berbagai ruang publik meski realitasnya menunjukkan kesenjangan masih terasa.

Muhammad Khambali yang akrab disapa Aang sebagai pendidik serta penulis 'Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan' melihat bahwa akses bagi penyandang disabilitas masih memiliki cara pandang segregatif pada anak berkebutuhan khusus.

Hal ini karena kurikulum yang digunakan di sekolah umum masih terlalu akademis dan berbasis kompetensi. Padahal kebutuhan pembelajaran anak disabilitas sangat bersifat individual yang menuntut fleksibilitas besar.

ADVERTISEMENT

"Cara pandang segregatif memisahkan pendidikan anak berkebutuhan khusus di SLB, sementara anak lainnya belajar di sekolah reguler. Meskipun pendidikan inklusi sudah mulai berjalan, aksesibilitas dan akomodasi yang layak belum terpenuhi," kata Khambali.

Di hal lain, fasilitas publik di berbagai daerah dan tempat umum belum sepenuhnya ramah disabilitas meski pemerintah terus menggaungkan nilai kesetaraan.

"Regulasi tentang aksesibilitas sebenarnya sudah ada. Namun, kemauan politik pemerintah masih kurang. Pemenuhan hak atas aksesibilitas belum sepenuhnya disediakan negara," paparnya.

Isu disabilitas kerap diwajarkan sebagai permasalahan pribadi padahal isu tersebut menjadi isu kolektif yang membutuhkan kerja bersama bukan tanggung jawab individu.

"Ketika seseorang memiliki disabilitas, itu dianggap sebagai kekurangan individu. Padahal, kondisi disabilitas muncul karena lingkungan sosial dan struktur politik yang belum setara," sambungnya.


Simbol-simbol penyandang disabilitas di ruang publik yang belum diketahui banyak orang juga menjadi masalah baru seolah penyandang disabilitas tak tampak.

"Simbol itu penting agar publik atau fasilitas seperti transportasi dapat mengidentifikasi kebutuhan mereka dan menyediakan akomodasi yang layak," imbuhnya.

Khambali juga menyoroti bagaimana peran Generasi Z dalam isu disabilitas ini.

"Isu disabilitas ini isu sehari-hari. Ketika bersekolah, bekerja, atau mengakses fasilitas publik, isu ini hadir. Gen Z perlu lebih sadar dan dekat dengan isu disabilitas," tuturnya.

Menutup perbincangan, Khambali menjelaskan alasan bahwa sebagian penyandang disabilitas lebih nyaman disebut sebagai difabel ketimbang disabilitas.

Menurut Khambali, hal ini karena ada kesalahpahaman dalam penerjemahan istilah disability dalam bahasa Indonesia.

"Istilah disabilitas sering dipahami sebagai ‘tidak mampu’. Padahal, teman-teman disabilitas memiliki kemampuan, hanya berbeda. Karena itu mereka lebih nyaman disebut difabel—different ability atau kemampuan berbeda," pungkasnya.

Baca di halaman selanjutnya.

3 / 4
Loading
Loading
detikNetwork
UPCOMING EVENTS Lebih lanjut
BACA JUGA
VIDEO
TERKAIT
Loading
POPULER