Paradoks Sesal Oppenheimer di Balik Nyanyian Tuhan dalam Perang Mahabharata
Ini bukan review film. Esai ini bukan membedah film biopik J Robert Oppenheimer yang dibuat cukup epik oleh Christopher Nolan. Tapi lebih ke masalah spiritual Oppenheimer sebelum dan seusai dua bom berdaya ledak gigantik itu dilepas.
Dalam salah dua scenenya, Nolan agak intens dengan monolog Oppenheimer. Monolog di mana menjadi paradoks penyesalan sang ilmuwan, di mana kutipan itu juga dituangkan dalam adegan bercinta fisikawan tersebut dengan pacar pertama hingga menasbihkan diri sebagai penemu zat kematian massal. Dialog Dewa ke Arjuna yang mengiringi penelitian bom maut bernama Trinity. Bom itu diuji coba pertama kali di Los Alamos, New Mexico.
"Sekarang aku menjadi waktu, sang penghancur dunia," kutipan asli Dewa Krisna yang telah menunjukkan wujud aslinya sebagai Wisnu kepada Arjuna yang tengah gundah-gulana menghadapi perang besar Kurusetra karena di pihak Kurawa juga banyak orang yang ia sayangi, termasuk Bisma sang kakek.
Dalam ayat suci itu, langit kemudian menjadi superterang, menyilaukan mata Arjuna. Waktu kemudian berhenti, dan Krisna menyakinkan hati Arjuna agar teguh dan tegar dalam perang yang juga nantinya turut mengambil nyawa putra kesayangan Arjuna sendiri, Abimanyu.
Lalu Oppenheimer memodifikasi kitab Bhagavad Gita tersebut menjadi "Sekarang aku menjadi kematian, sang penghancur dunia,"
Kita semakin mengetahui bahwa sang ilmuwan memang pengagum manuskrip Hindu tentang salah satu scene epos akbar dalam kisah pewayangan. Bahkan dalam penamaan bomnya pun ia memakai nama Trinity alias Trinitas Tuhan Hindu: Wisnu (sang pemelihara), Brahma (sang pencipta) dan Siwa (sang penghancur).
Dalam film secara jelas bahwa Oppenheimer memang terlihat begitu menyesal menemukan bom atom paling mematikan dalam sejarah perang dunia II sekaligus dalam histori genosida.
Ia dan timnya melakukan riset dalam kejaran waktu, berlomba-lomba dengan Jerman dan Uni Soviet untuk penentuan arah perang. Dalam keyakinannya, di awal bom belum mendapatkan formuła pasti, Oppie -sapaan akrabnya- menilai penemuannya ini memang akan berdampak baik. Unggul dalam kecepatan dibanding negara lain, juga menyudahi perang. Banyaknya korban memanglah harga yang harus dibayar. Setidaknya begitu penilaiannya kala formula itu semakin solid menuju penemuan penting.
Oppenheimer kembali mengutip kata-kata Dewa Krisna alias Wisnu ketika menyaksikan ledakan pertama dari Trinity, ia bersorak, bergembira lalu berjalan bak koboi karena merasa supergagah dałam penemuannya kali ini.
Namun ketika Nagasaki dan Hiroshima porak-poranda, hati Oppenheimer mulai berisalah. Oppie mulai bergetar akan keberhasilannya sendiri 'merakit' bom tersebut. Jeritan korban di dua kota di Jepang itu mulai menghantui, matanya silau lagi.
Kalimat Krisna/Wisnu ke Arjuna pun jadi paradoks dalam keterbaruan jiwa Oppenheimer. Temuan Oppie dan teman-teman ilmuwannya di Los Alamos benar-benar menjadi alat pencabut nyawa bagi 2 ratus ribuan orang. Bayang-bayang kata-kata Dewa Hindu tersebut membuat dirinya dalam labirin tanpa akhir.
Ayat suci Bhagavad Gita yang diartikan sebagai 'Nyanyian Tuhan' itu adalah rumus tanpa jawaban dalam hidup Oppenheimer.
Satu sisi, itu menjadi penguatnya sebagai titik di mana perang memang mesti berakhir, tapi dimaknai sangat berbeda sesudah bom atom dilepas serta membinasakan banyak korban di Hiroshima-Nagasaki. Ayat itu berbalik menjadi sebuah depresi bagi Oppie. Setidaknya itu dalam perspektif saya. Dan semakin yakin setelah malahap durasi tiga jam film Nolan.
Setelah menonton film ini pun, gambaran Nolan akan penyesalan Oppie diselami dalam-dalam. Bagaimana ia berbincang dengan Albert Einstein, sampai kegamangan yang ia rasakan di saat publik AS menganggapnya sebagai orang jenius sekaligus pahlawan perang paling berjasa saat itu.
Oppenheimer kerap mengulang kalimat itu dalam wawancara dengan media, bahkan dalam satu cuplikan wawancaranya, ia kembali mengucapkannya dengan tatapan tertunduk cenderung kosong.
Dalam perang Mahabharata, Arjuna akhirnya mengangkat busur panahnya setelah matanya disilaukan penampakan Tuhan yang menyampaikan kalimatnya dalam bentuk Wisnu dengan beragam wajah termasuk menunjukkan dua dewa tertinggi di ajaran Hindu lainnya, Brahma dan Siwa.
Seperti epos dan hikayat perang lainnya, pertempuran disebut-sebut diperlukan untuk mencapai kedamaian.
Dalam Islam ada tujuh perang besar, termasuk Badar yang dipimpin Nabi Muhammad Saw yang tak imbang melawan pasukan Quraish. Dalam perang itu dicatat sebagai kemenangan umat muslim melawan kaum kafir.
Dilematis Oppie di sini tidak sesederhana dan seajaib dampak dari hikayat Mahabharata dan perang Badar. Selalu ada perdebatan mengenai keputusan perang diambil justru bertujuan kedamaian. Selalu ada korban besar dalam perang.
Dalam film-film perang Amerika kita beberapa kali diberitahu frasa usang, "Jika ingin kedamaian, bersiaplah untuk perang,"
Tapi rasa-rasanya, hal itu harusnya tetap bisa dihindari. Dan yang jelas, bom atom yang ia temukan membuat Oppenheimer tidak damai menjalani sisa hidupnya.
Redaktur Pelaksana InsertLive