Perjalanan Wahyana dari Guru hingga Jadi Wasit di Olimpiade Tokyo
Nama Wahyana jadi sorotan usai dipilih menjadi wasit di partai final bulutangkis tunggal putri yang mempertemukan Chen Yufei dan Tai Tzu. Wahyana menjadi satu-satunya wasit asal Indonesia yang dipercaya memimpin pertandingan final di Olimpiade Tokyo 2020.
Prestasi tersebut membuat banyak netizen yang penasaran dengan sosok wasit asal Gunung Kidul ini. Dalam sebuah kesempatan, Wahyana cerita bagaimana dirinya bisa meniti karier sebagai wasit berkelas internasional.
Wahyana cerita bahwa dirinya dulu pernah menjadi salah satu atlet voli di Indonesia. Namun cedera parah di bagian kaki membuat karier Wahyana sebagai atlet voli berakhir.
Perjalanan Wahyana di dunia olahraga kemudian berlanjut ke arena bulutangkis. Ia mengaku mulai mulai mencoba untuk bermain bulutangkis usai diajak oleh rekannya.
Wahyana lantas mendapat tawaran untuk menjadi hakim garis di pertandingan bulutangkis. Ia pun tanpa ragu menerima tawaran tersebut dan mulai mendalami berbagai peraturan buliutangkis.
"Jadi dulu waktu muda, saya sebetulnya bukan atlit bulu tangkis tapi atlet voli, karena cedera ankle yang cukup berat, dokter menyarankan istirahat. Jadi ikut saran dokter. Diajak teman main bulutangkis, saya ikuti untuk main 2 kali seminggu. Setelah kurang lebih 1 tahun bermain bulu tangkis ditawari sama teman jadi hakim garis. Kalo seperti itu saya mau," cerita Wahyana.
Karier Wahyana sebagai hakim garis pertandingan bulutangkis berlangsung selama 2 tahun muali dari 1998-2000. Ia pun mendapat kesempatan untuk mengikuti ujian sebagai wasit di tingkatan kabupaten.
"Itu tahun 98 sampe 2000 mas. 2 tahun menjadi hakim garis, setelah itu ada ujian tingkat kabupaten Sleman. Saya diundang jadi wasit, ya saya coba. Akhirnya ikut ujian dan lulus untuk ujian teorinya saya dapat 100," ungkap Wahyana.
Wahyana menjalani karier sebagai wasit dengan sertifikasi standar kabupaten selama 5 tahun. Ia kemudian mendapat kesempatan untuk memiliki sertifikasi wasit kelas nasional dan lanjut ke ujian wasit tingkat Asia di Malaysia.
"Dengan hasil yang seperti itu, di tahun 2005 saya dikirim untuk ujian nasional B. jadi ada 2 jenjang nasional B dan A. bedanya itu nasional B itu masih pake bahasa Indonesia. Selang 1 tahun saya dikirim ke nasional A. pake bahasa Inggris. Mulai dari ujian, sampe memimpin pertandingannya yaitu di Surabaya, Indonesia Open 2006," kata Wahyana.
"Dan di tahun yang sama, langsung dikirim ke badminton asia accreditation di KL Malaysia. Dan saya kebetulan saya ranking 2 tingkat Asia. Selang 2 tahun, 2008 saya dipanggil badminton Asia untuk menempuh ujian sertification 1 tingkat lebih tinggi dari yang pertama di Johor Bahru, Malaysia," lanjut Wahyana.
Karier Wahyana sebagai wasit tingkat Asia ternyata mendapat sorotan dari Federasi Bulutangkis Dunia (BWF). Ia lantas mendapat kesempatan untuk mengikuti ujian akreditasi BWF di Jepang.
"Setelah dipantau beberapa tahun dalam bertugas, akhirnya saya dinyatakan layak dikirim ke BWF Accreditation. 2012 di kirim oleh badminton Asia ujian di Chiba, Jepang. BWF Accreditation. Setelah itu, saya diberikan tugas oleh BWF untuk memimpin pertandingan yang bergengsi, Thomas Uber, Sudirman, BWF World Tour final dan lain sebagainya," ujar Wahyana.
"2016 saya dipanggil untuk ujian yang paling tinggi itu tahun 2016 di Wuhan, China, pada kejuaraan Thomas uber final. Alhamdulillah lulus, dan mendapatkan lisensi tertinggi di dunia itu," lanjut Wahyana.
Selain menjadi wasit, Wahyana ternyata juga berprofesi sebagai seorang guru dan juga wakil kepala sekolah. Meski sudah menjadi wasit kelas inetrnasional, Wahyana mengku tetap senang menjadi tenaga pengajar.
"Masih mengajar, dan kebetulan saya masih menjadi wakil kepala sekolah juga. Ya kalau secara financial jelas berbeda, semakin enak gitu. Tapi secara pribadi tidak merasa berubah. Saya hanya sosok seperti ini. Tidak pernah merasa saya wasit internasional," tutup Wahyana.
(ikh/ikh)