Makna Bubur Asyura yang Selalu Dibuat Umat Islam untuk Peringati 9 Muharram

Tanggal 9 dan 10 Muharram dalam penanggalan Hijriyah selalu diperingati oleh umat muslim.

Tanggal yang bertepatan dengan 15 dan 16 Juli dalam penanggalan Masehi ini biasanya dirayakan dengan melaksanakan puasa Tasua dan Asyura.

Dua jenis puasa sunnah ini memiliki banyak keutamaan, di antaranya adalah pengampunan dosa, meneladani Nabi Musa AS, menambah kebaikan, meningkatkan kesadaran spiritual, hingga mencerminkan solidaritas dengan sesama muslim.

Selain memperingati dengan puasa, beberapa umat muslim di dunia juga merayakan dengan membuat bubur Asyura.

Bubur Asyura biasanya dimasak bersama oleh masyarakat sekitar secara gotong royong.

Bahan bubur Asyura terdiri dari santan kelapa, pisang, nangka masak, gula merah, sagu, kacang hijau, labu kuning, dan ubi.

Tradisi memasak bubur Asyura merupakan bentuk ungkapan rasa syukur manusia atas keselamatan yang selama ini diberikan Allah Swt.

Merujuk pada asal-usulnya, bubur Asyura sudah ada sejak masa Nabi Nuh yang selamat dari banjir besar dengan menaiki perahu bersama kaumnya.

Dihikayatkan, bahwa tatkala perahu Nabi Nuh a.s. sudah berlabuh pada hari Asyuro, beliau berkata kepada kaumnya. "Kumpulkanlah semua perbekalan yang ada pada diri kalian!".

Lalu beliau menghampiri (mereka) dan berkata, "(Ambillah) kacang fuul (semacam kedelai) ini sekepal dan 'adas (biji-bijian) ini sekepal, dan ini dengan beras, dan ini dengan gandum dan ini dengan jelai (sejenis tumbuhan yang bijinya/buahnya keras dibuat tasbih)".

Kemudian Nabi Nuh berkata, "Masaklah semua itu oleh kalian!, niscaya kalian akan senang dalam keadaan selamat".

Bubur Asyura saat ini juga dimasak di daerah-daerah di Indonesia, seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur, atau Sumatra Utara.

Bubur ini dimasak dalam porsi yang sangat besar dan dibagikan ke warga sekitar.