Mengenal Tradisi Rambu Solo', Ritual Adat Toraja yang Dijadikan Lelucon Pandji Pragiwaksono
Komika dan pembawa acara Pandji Pragiwaksono kini menghadapi kecaman setelah video materi stand-up komedinya yang diduga menyinggung tradisi Rambu Solo' milik masyarakat Toraja kembali viral.
Guru Besar Antropologi di Universitas Hasanuddin, Prof. Tasrifin Tahara, menilai bahwa candaan Pandji telah menyentuh ranah pelecehan budaya dan tidak pantas dijadikan bahan lelucon.
"Rambu Solo' itu kebudayaan luhur dan agung, bahkan sudah diakui UNESCO. Jadi tidak pantas dijadikan bahan lelucon," tegasnya.
Menurut Tasrifin, budaya seperti Rambu Solo' tidak bisa dipahami secara parsial atau hanya dari sisi biaya, melainkan harus dilihat secara holistik termasuk dimensi sosial, ekonomi, politik, dan spiritual masyarakat Toraja.
"Budaya tidak bisa dilihat secara parsial, melainkan harus dipahami secara holistik," katanya.
Video yang beredar menunjukkan Pandji melontarkan materi yang menggambarkan masyarakat Toraja jatuh miskin karena memaksakan diri menggelar pesta kematian, serta menyebut bahwa jenazah bisa dibiarkan di ruang tamu bila keluarga belum mampu memakamkannya.
Pernyataan Pandji tersebut menimbulkan reaksi keras dari kalangan Toraja dan pencinta budaya.
Bupati Toraja Utara, Frederik Victor Palimbong, menyatakan bahwa seorang figur publik semestinya melakukan riset sebelum menjadikan adat sebagai bahan komedi.
"Jangan asal bunyi alias asbun," kata Frederik.
"Itu tidak lucu sama sekali," tegasnya.
Polemik yang melibatkan komika Pandji Pragiwaksono ini, menjadi pengingat penting tentang batas antara humor dan penghormatan terhadap budaya.
Dalam salah satu materi lawaknya, Pandji disebut menyinggung tradisi Rambu Solo', upacara pemakaman sakral masyarakat Toraja.
Reaksi keras pun bermunculan dari berbagai kalangan, termasuk tokoh adat dan antropolog.
Untuk memahami mengapa masyarakat Toraja merasa tersinggung, kita perlu melihat makna mendalam dari Rambu Solo' itu sendiri.
Tradisi ini bukan sekadar ritual kematian, melainkan ungkapan cinta dan penghormatan terakhir kepada leluhur.
Setiap tahap dari penyimpanan jenazah di rumah tongkonan, tarian Ma'badong, hingga penyembelihan kerbau, semuanya mengandung filosofi sosial dan spiritual yang diwariskan turun-temurun selama ratusan tahun.
Dalam pandangan orang Toraja, kematian bukan akhir, tetapi perjalanan menuju alam roh (Puya).
Berlandaskan hal itu, prosesi pemakaman dilakukan dengan penuh penghormatan dan kebersamaan.
Menjadikan ritual ini sebagai bahan candaan berarti mengabaikan nilai spiritual dan sosial yang melekat di dalamnya.
Humor memang bagian dari kebebasan berekspresi. Namun, kebebasan itu selalu diiringi dengan tanggung jawab moral dan kultural.
Di Indonesia, di mana keberagaman budaya begitu kaya, seorang publik figur semestinya mampu menempatkan diri dengan empati dan rasa hormat.
Bukan berarti budaya tidak boleh dibicarakan secara jenaka. Komedi dapat menjadi jembatan edukasi bila dilakukan dengan riset, sensitivitas, dan penghargaan.
Namun, ketika konteksnya bergeser menjadi simplifikasi atau stereotip, maka humor kehilangan daya edukatifnya dan berubah menjadi bentuk pelecehan simbolik.
Kasus Pandji seharusnya menjadi refleksi bersama: bahwa tawa tidak boleh berdiri di atas luka orang lain. Tradisi seperti Rambu Solo' adalah warisan bangsa yang membawa nilai luhur, bukan bahan olok-olok.
Di tengah derasnya arus digital dan budaya viral, penting bagi para pelaku seni, influencer, dan publik figur untuk memahami akar budaya sebelum menjadikannya materi hiburan.
Sebab menghormati budaya bukan sekadar sopan santun, tetapi juga cara menjaga jati diri bangsa.
Hingga detik ini, Pandji belum memberikan klarifikasi secara resmi terkait klaim yang menyebut bahwa stand-up komedinya merendahkan adat Toraja.
(ikh/ikh)