3 Jurnalis Wanita Indonesia Berani Pertaruhkan Nyawa di Zona Perang

Insertlive | Insertlive
Kamis, 17 Mar 2022 20:00 WIB
Partai Golkar menggelar diskusi bertemakan 'Bersatu Melawan Corona' yang digelar di Little League, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (13/3/2020). Diskusi dihadiri (kiri ke kanan) Satgas Waspada & Siaga Corona DR Erlina Burhan, Direktur Eksekutif CSIS Phillip J Vermonte, Ketua Komisi 1 DPR Meutya Hafid, dan Deputi V BIN Mayjen TNI Afini Boer. 3 Jurnalis Wanita Indonesia Berani Pertaruhkan Nyawa di Zona Perang
Jakarta, Insertlive -

Hari Perempuan Internasional jatuh pada setiap 8 Maret. Oleh karena itu, isu tentang perempuan banyak dibahas pada bulan ini.

Tahun 2022 ini, Hari Perempuan Internasional mengusung tema #BreakTheBias Gender equality today for a sustainable tomorrow yang memiliki makna sebagai kesetaraan gender hari ini untuk masa depan yang berkelanjutan.

Berbicara tentang kesetaraan gender, jurnalis-jurnalis wanita Indonesia ini telah membuktikan bahwa wanita mampu bekerja di segala situasi dan kuat menghadapi berbagai tantangan. 

ADVERTISEMENT

Tiga jurnalis wanita ini pernah berhadapan dengan bahaya bahkan kematian saat bekerja. Namun, berkat profesionalisme dan passion yang kuat akan pekerjaannya, mereka tidak menyerah dan berhasil menjadi inspirasi jurnalis masa kini. Siapa saja mereka?

1. Meutya Hafid Ansyah

Meutya Hafid Ansyah atau Meutya Hafid kini lebih dikenal sebagai seorang politikus. Dia tengah menduduki posisi sebagai Ketua Komisi 1 DPR RI.

Sebelumnya, Meutya Hafid berkarier sebagai reporter di Metro TV. Sosok Meutya sempat membuat heboh Indonesia ketika dia bertugas di Irak pada tahun 2005 silam.

Saat itu hari Jumat (18/2) tahun 2005, Associated Press Television News menerima sebuah tayangan video yang memperlihatkan dua reporter Metro TV yang hilang sedang didampingi dua pria bersenjata.

Reporter itu adalah Meutya Hafid dan kameramen Budiyanto. Mereka terlihat sedang berdiri di bawah terik matahari sambil memegang paspor dan ID Card Metro TV.


Dalam rekaman tersebut terdengar suara yang menanyakan maksud keberadaan Meutya dan Budiyanto dan mengancam jiwa mereka.

"Kami sedang menyelidiki alasan mereka di negara ini. Kami meminta pemerintah Indonesia untuk mengklarifikasi status mereka dan mengatakan kepada kami alasan mereka berada di negeri ini. Jika tidak, jiwa mereka terancam," suara dalam rekaman tersebut.

Dilaporkan bahwa kelompok Mujahidin Irak yang telah menyandera mereka. Kemudian, setelah video itu diproses, akhirnya Meutya dan Budiyanto bebas dari sandera. Mereka lantas mendapatkan cendera mata berupa Al-Qur'an dan kerudung warna biru bercorak. Sementara itu, Budiyanto mendapatkan Al-Qur'an, tasbih, dan peci berwarna putih.

[Gambas:Instagram]

Baca halaman selanjutnya.

Yuli Ismartono menjadi sosok jurnalis wanita legendaris, sebab dirinya berhasil mewawancarai Khun Sa yang merupakan target operasi pemerintah Amerika Serikat dan Burma atau the most wanted person karena kasus obat-obatan terlarang.

Yuli harus melewati berbagai tantangan untuk menemui Khun Sa. Dia bahkan harus menanti selama satu tahun dan melalui perjalanan panjang.

"Untuk mendapatkan kesempatan bertemu dengan Khun Sa, saya nunggu dulu setahun," kata Yuli Ismartono, mengutip Jurnal Perempuan.

"Suatu hari saya mendapat kabar dari teman wartawan Bangkok Post kalau saya bisa bertemu dengan Raja Opium. Berita Itu datangnya tengah malam," lanjutnya.

Kala itu, Yuli harus bergegas menuju Chiangrai, Thailand. Sesampainya di sana dia tidak langsung bertemu dengan Khun Sa, dia harus menemui bawahan Khun Sa untuk datang ke markas buronan itu. Dia bahkan harus menunggu kepastian Khun Sa selama dua hari di sana.

Hingga tiba saatnya, suatu malam orang-orang Khun Sa mengajaknya untuk menemui Khun Sa dan melewati perjalanan yang terlarang.

"Jadi, tengah malam kita diajak naik gunung, naik keledai, lama sekali perjalanannya, melintasi hutan dan sungai, sampai sakit saya untuk bisa bertemu dengan Raja Opium itu," tuturnya.

Ketika Yuli tiba di markas Khun Sa. Dia menghadapi suasa yang begitu mencekam. Semua orang di sekitarnya dilengkapi senjata.

"Sampai pada akhirnya, saya tiba di suatu tempat di mana banyak orang membawa senjata. Khun Sa sendiri memakai pistol. Ia dikawal oleh tentaranya sendiri. Saya melihat di mana-mana ada tanaman opium. Waw, mengerikan sekali, tapi saya bangga akhirnya bisa menemui Raja Opium ini," sambungnya.

Perjalanan Yuli Ismartono ini begitu menginspirasi dan memotivasi perempuan muda sekaligus membuktikan bahwa kemampuan dan pencapaian bekerja tidak ditentukan oleh gender. 

3. Adek Berry

Adek Berry telah lebih dari 20 tahun berkarier sebagai jurnalis foto. Sebagai jurnalis foto, Adek Berry dituntut untuk siap mengabadikan segala momen, baik itu momen membahagiakan, momen memilukan, hingga momen mencekam. 

Adek Berry bekerja di sebuah kantor berita asing Prancis Agency France Presse (AFP) yang membuatnya melanglang buana ke berbagai daerah dan berbagai situasi. 

Dirinya bahkan kerap meliput kejadian di daerah konflik atau perang dan tempat kejadian bencana. Dalam bertugas di tempat bencana, Adek harus menyeimbangi antara nilai kemanusiaan dan profesionalisme. Dia tidak boleh terbawa suasana.

"Sebagai seorang jurnalis foto, saya harus siap segala suasana, segala kondisi, segala cuaca, jadi bencana dan perang ini salah satu yang harus saya kerjakan," kata Adek Berry dalam tayangan Hitam Putih Trans7, Januari 2018 lalu. 

Sering bertugas di lokasi perang dan bencana, Adek Berry tidak bisa menepis rasa takut yang dia alami. Baginya rasa takut itu perlu ada untuk membuatnya selalu waspada. 

"Takut ada dan harus takut. Takut bikin kita waspada," ucapnya. 

(and)
1 / 2
Loading
Loading
ARTIKEL TERKAIT
detikNetwork
UPCOMING EVENTS Lebih lanjut
BACA JUGA
VIDEO
TERKAIT
Loading
POPULER