Catatan Sejarah-Keresahan Warga Jakarta di Pikebu Afrizal Malna: Suara Bajaj dari Cikini
Catatan Sejarah-Keresahan Warga Jakarta di Pikebu Afrizal Malna: Suara Bajaj dari Cikini/Foto: InsertLive/Dias
Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta 2025 digelar pada Senin (10/11) bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional. Afrizal Malna menjadi pemapar Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta 2025.
Dalam pidato bertajuk 'Suara Bajaj dari Cikini', Afrizal mengenang masa kecilnya sebagai warga Jakarta. Afrizal memaparkan bagaimana identitas Jakarta yang kini berupaya menapaki diri sebagai kota global.
"Untuk kita mengerti bahwa apa yang terjadi di masa kini itu bisa ditarik jauh ke belakang dan kita bisa melihat bahwa apa yang kita lakukan sekarang tidak semata-mata sesuatu yang terjadi begitu saja," kata Afrizal dalam pidatonya.
Afrizal memetakan bahwa kenangan masa kecilnya di Jakarta bermula dari moda transportasi bajaj dan becak yang menurutnya bisa membawanya pada semesta.
"Bajaj ini kendaraan pengganti kenangan saya tentang becak di masa kanak-kanak saya. Ketika saya naik becak, seolah di bawah becak itu ada semesta. Tapi becak kemudian ditenggelamkan secara brutal karena kota berkembang ke arah dianggap tidak sesuai dan dia ditenggelamkan ke dasar laut Jakarta," paparnya.
Di tengah paparan pidato, Afrizal Malna mengundang komunitas Jaringan Rakyat Miskin Kota, Urban Poor Consortium.
Kelima warga yang menjadi perwakilan diberi ruang untuk berkeluh-kesah soal proyek-proyek pembangunan Jakarta hingga sempitnya ruang untuk mencari nafkah.
"Saya hanya cari nafkah di Ancol pak. Saya hanya butuh uang untuk anak saya sekolah dan untuk makan. Jangan rebut ruang kami mencari nafkah hanya demi ketamakan," kata ibu pedagang Ancol.
Lain lagi dengan keluhan tukang bajaj yang rela tidur di kolong tol karena pendapatan mereka berkurang dikalahkan bisingnya para ojek online.
"Kami dari subuh sampai malam hanya dapat sekali jalan Rp20 ribu. Itu untuk makan saja nggak cukup. Saya tidur di kolong tol yang penting bisa tidur aja dulu," kata tukang bajaj tersebut.
Seorang ibu yang berprofesi sebagai tukang ojek di Muara Angke juga mengeluhkan air di lingkungannya yang kotor karena limpahan banjir rob.
"Kami tinggal di atas air yang sebelahnya banyak sampah. Kalau banjir rob datang, rumah kami digenangi air. Tolong PAM Jaya, air adalah hak kami sebagai warga negara. Hentikan privatisasi air, kami semua memerlukan air tanpa harus bayar," tandas ibu tersebut.
Cerita lain juga muncul dari ibu Mahariah, perwakilan warga Pulau Pramuka. Ia mengeluhkan sejumlah oknum yang mengaku mengantongi izin untuk membuat pulau seribu menjadi milik pribadi yang akhirnya dikomersialkan.
"Kami punya tempat hiburan kalau akhir pekan. Ada yang dinamakan Gosong. Itu pulau-pulau yang hanya terlihat saat air surut. Itu menjadi hiburan kami di laut. Tapi, beberapa orang datang dan mengakuisisi gosong kami, tempat hiburan kami yang tidak punya bioskop dan mall," kata ibu Mahariah.
Malna melihat suguhan keluh-kesah warga Jakarta ini menjadi kritikan tajam bagi pemerintah Jakarta yang seharusnya memerhatikan warganya. Ia mengutip perkataan Francois Valentjin tahun 1724 saat Jakarta masih menjadi Batavia.
"Di antara kota-kota di Timur, tidak ada yang bisa menandingi Batavia dengan keindahan dan kebersihan bangunannya, keelokan kanal-kanalnya yang teduh, ornamen dari jalanannya yang lurus, jangkauan perdagangannya yang sangat luas," bunyi pernyataan tersebut.
(dis/dis)
TERKAIT