Menguak Sejarah Konflik Palestina-Israel dari Awal hingga Kini

Zalsabila Natasya | Insertlive
Jumat, 24 Nov 2023 21:30 WIB
The Temple Mount, also know as Mount Moriah in Jerusalem, Israel. It is located in the Old City in Jerusalem and is a holy site for both the Muslims and for the Jews. The golden dome is also known as the Dome of the Rock and is covered with gold since 1920 Menguak Sejarah Konflik Palestina-Israel dari Awal hingga Kini / Foto: Getty Images/iStockphoto/davidionut
Jakarta, Insertlive -

Perang yang terjadi antara kelompok faksi Palestina, Hamas, dengan Israel masih berlangsung. Serangan tersebut menjadi sejarah baru, di tengah sejarah panjang mengenai konflik pertanahan di kedua wilayah tersebut.

Konflik tersebut sudah merenggut banyak nyawa, dan membuat jutaan orang memilih untuk mengungsi. Lantas, bagaimana sejarah konflik Palestina-Israel hingga saat ini? Simak penjelasannya berikut ini.

Sejarah Konflik Palestina-Israel

Berikut ini urutan sejarah konflik yang terjadi antara Palestina dan Israel, dilansir dari laman Al Jazeera.

ADVERTISEMENT

Deklrasi Balfour 1917

Pada 2 November 1917, Arthur Balfour yang saat itu merupakan Menteri Luar Negeri Inggris menulis surat kepada Lionel Walter Rothschild, yakni seorang tokoh komunitas Yahudi Inggris.

Surat itu disebut sebagai Deklrasi Balfour. Isi dari surat tersebut memberikan dampak yang sangat besar terhadap Palestina, hingga saat ini.

Di mana, surat tersebut berisi perjanjian yang mengikat pemerintah Ingrris untuk 'mendirikan rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina' serta memberikan fasilitas untuk 'pencapaian tujuan itu'.

Mandat dari Inggris ini dibentuk pada tahun 1923 dan berlangsung hingga tahun 1948.

Selama periode tersebut, Inggris telah memberikan fasilitas yaitu migrasi orang Yahudi (banyak penduduk baru yang melarikan diri dari Nazisme yang terjadi di Eropa).


Namun, masyarakat Palestina takut akan terjadi perubahan demografi di negara mereka, serta penyitaan tanah merdeka oleh Inggris untuk diberikan kepada pemukin Yahudi.

Pemberontakan Arab Pada Tahun 1930-an

Konflik yang terus meningkat menyebabkan terjadinya pemberontakan Arab, yang berlangsung dari tahun 1936 sampai 1939. Pada April 1936, Komite Nasional Arab meminta warga Palestina untuk melakukan pemogokan umum.

Pemogokan umum dilaksanakan dengan menahan pembayaran pajak serta melakukan boikot terhadap produk buatan Yahudi.

Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk protes terhadap kolonialisme Inggris dan akibat meningkatnya imigrasi Yahudi.

Tindakan tersebut berlangsung selama enam bulan dan secara brutal ditindas oleh Inggris, dengan melakukan kampanye penangkapan massal serta melakukan penghancuran (sebuah praktik yang selalu dilakukan Israel terhadap warga Palestina hingga saat ini).

Fase kedua pemberontakan berlangsung di akhir tahun 1937 yang dikepalai oleh gerakan perlawanan petani Palestina. Mereka menargetkan kekuatan Inggris serta kolonialisme.

Di pertengahan tahun 1939, Inggris telah mengirim sekitar 30.000 tentaranya di Palestina. Banyak desa dibom melalui udara, jam malam juga diterapkan, rumah-rumah dihancurkan, serta penahanan administratif hingga banyaknya pembunuh massal.

Di waktu yang sama, Inggris juga bekerja sama dengan komunitas pemukim Yahudi dengan menciptakan kelompok bersenjata yang terdiri dari para pejuang Yahudi yang dikenal sebagai 'Pasukan Malam Khusus' yang dipimpin oleh Inggris.

Keputusan PBB Tahun 1947

Pada tahun 1947, jumlah kaum Yahudi meningkat dengan pesat menjadi 33 persen di Palestina, dan mereka hanya mempunyai 6 persen tanah.

Perserikatan Bangda-bangsa (PBB) mengadopsi resolusi 181, dengan menyampaikan pembagian wilayah di Palestina menjadi negara-negara Arab dan Yahudi.

Banyak yang menganggap bahwa awal mula konflik ini terjadi disebabkan oleh keputusan PBB di tahun 1947 ini.

Saat itu, dalam mandat yang dikeluarkan oleh Inggris, PBB membagi wilayah Palestina menjadi dua negara, yakni negara Yahudi dan negara Arab.

Dalam hal ini, Palestina dengan tegas menolak keputusan tersebut karena rencana itu akan memberikan sekitar 55 persen wilayah Palestina kepada negara Yahudi (meliputi sebagian besar wilayah pesisir yang subur).

Kala itu, warga Palestina memiliki 94 persen wilayah bersejarah sekaligus meliputi 67 persen populasinya.

Dikutip dari The Guardian, baik Palestina maupun negara-negara Arab tidak menyetujui pendirian Israel modern. Peperangan yang terjadi antara kelompok bersenjata Yahudi dan pejuang Palestina terus meningkat.

Hal tersebut juga membuat tentara Irak, Mesir, Transjordania, dan Suriah menyerang, usai Israel mendeklrasikan kemerdekaannya pada Mei 1948.

Perjanjian gencatan senjata pada 1949, telah menetapkan perbatasan baru secara de facto dengan memberi lebih banyak wilayah kepada negara Yahudi tersebut, dibandingkan rencana pembagian oleh PBB.

Nakba 1948

Sebelum berakhirnya mandat Inggris pada 14 Mei 1948, para tentara Zionis telah melancarkan operasi militer untuk menghancurkan wilayah Palestina, untuk memperluas perbatasan negara Zionis yang akan didirikan.

Pada April 1948, lebih dari 100 laki-laki, perempuan, dan anak-anak Palestina dibunuh di desa Deir Yassin yang terletak di pinggiran Yerusalem.

Tindakan tersebut menentukan jalannya operasi berikutnya, dan dari tahun 1947 sampai 1949, sudah lebih dari 500 desa dan kota-kota di Palestina dihancurkan. Peristiwa itu disebut sebagai Nakba yaitu bencana dalam bahasa Arab.

Aksi tersebut telah membuat kurang lebih 15.000 warga Palestina tewas (termasuk puluhan pembantaian).

Gerakan yang dilakukan oleh Zionis berhasil menguasai 78 persen wilayah bersejarah di Palestina.

Sekitar 22 persen sisanya dibagi menjadi wilayah yang saat ini menjadi Tepi Barat diduduki Jalur Gaza yang yang sedang dikepung.

Diperkirakan sebanyak 750.000 warga Palestina harus mengungsi ke negara tetangga, seperti Suriah, Yordania, Lebanon, dan Mesir.

Terbentuknya Israel

Israel pun mendeklarasikan pendiriannya pada 15 Mei 1945. Dari sinilah yang membuat konflik semakin memanas. Besoknya, perang pertama antara Arab-Israel pun terjadi dan berakhir pada Januari 1949.

Peperangan tersebut berakhir setelah gencatan senjata antara Israel dengan Suriah, Lebanon, Mesir, dan Yordania.

Keadaan Setelah Nakba

Sekitar 50.000 warga Palestina memilih untuk menetap di negara Israel yang baru dibentuk itu.

Namun, mereka harus hidup di bawah pendidikan militer dan bahkan dikontrol dengan ketat selama hampir 20 tahun (sebelum mereka diberikan kewarganegaraan Israel).

Pada 1950, Yordania kemudian memulai pemerintahan administratifnya atas Tepi Barat dan Mesir mengambil alih Jalur Gaza.

Pada 1964, Palestine Liberation Organization (PLO) dibuat. Dilanjutkan dengan berdirinya partai politik Fatah di tahun berikutnya.

Perang 6 Hari

Pada 5 Juni 1967, selama perang enam hari dalam melawan koalisi tentara Arab, Israel berhasil menguasai sisa wilayah bersejarah di Palestina, di antaranya adalah Jalur Gaza, Tepi Barat, Yerusalem Timur, Golan Suriah, serta Semenanjung Sinai Mesir.

Hal tersebut juga menyebabkan perpindahan secara paksa bagi warga Palestina. Peristiwa ini diartikan sebagai ‘kemunduran’ atau dalam bahasa Arab disebut ‘naksa’.

Front Populer Marxis-Leninis dibentuk pada Desember 1967 sebagai pembebasan Palestina.

Di dekade selanjutnya, terdapat rangkaian sejumlah serangan yang dilakukan kelompok sayap kiri, hal tersebut menjadi perhatian dunia terhadap penderitaan yang dialami oleh rakyat Palestina.

Pembangunan pemukiman pun dimulai di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Di sini, terdapat sistem dua tingkat yang diciptakan.

Di mana pemukim Yahudi diberikan seluruh hak serta keistimewaan sebagai warga negara Israel, sedangkan warga Palestina harus hidup menderita dibawah pendudukan militer Zionis Israel.

Intifada Pertama dan Berdirinya Hamas

Intifada artinya adalah perlawanan. Intifada Palestina pertama kali dilakukan di Jalur Gaza pada Desember 1987. Lebih tepatnya setelah 4 warga Palestina tewas akibat truk Israel bertabrakan dengan dua van yang membawa pekerja Palestina.

Protes pun langsung menyebar ke Tepi Barat. Saat itu, pemuda Palestina melemparkan batu ke tank tentara Israel. Hal tersebut juga menjadi alasan terbentuknya Hamas.

Intifada dilakukan oleh kaum muda dan diarahkan oleh Unified National Leadership of the Uprising, yakni koalisi faksi politik Palestina yang memiliki komitmen untuk mengusir pendudukan Israel.

Pada 1988, Liga Arab mengakui PLO sebagai satu-satunya perwakilan dari masyarakat palestina.

Dalam hal ini, intifada ditandai dengan perpindahan rakyat, protes, pembangkangan, pemogokan, dan kerja sama komunal.

Berdasarkan organisasi HAM Israel B’Tselem, terdapat kurang lebih 1.070 warga Palestina dibunuh oleh pasukan Israel selama intifada, termasuk 237 anak-anak dan lebih dari 175.000 warga Palestina ditangkap.

Perjanjian Oslo dan Otoritas Palestina

Akhir dari intifada ditandai dengan penandatangan Perjanjian Oslo pada 1993, yang bersamaan dengan terbentuknya Palestinian Authority (PA).

PA merupakan pemerintahan sementara yang diberikan pemerintahan mandiri terbatas yang terletak di wilayah Jalur Gaza dan Tepi Barat.

PLO mengakui Israel menurut solusi dua negara dan menandatangi perjanjian yang memberi Israel kendali sekitar 60 persen di Tepi Barat.

Pada 1995, Israel membangun pagar elektronik serta tembok beton di sekitar Jalur Gaza. Pembuatan pagar dan tembok tersebut bertujuan agar dapat menghentikan interaksi antara wilayah Palestina yang terpecah.

Intifada Kedua

Intifada kedua berlangsung pada 28 September 2000, ketika pemimpin oposisi Likud Ariel Sharon melakukan kunjungan provokatif ke komplek Masjid Al Aqsa.

Ribuan pasukan keamanan pun mereka kerahkan di sekitar Kota Tua Yerusalem. Peristiwa tersebut menyebabkan pemberontakan bersenjata semakin meluas.

Selama intifada, Israel menyebabkan kerusakan yeng belum pernah terjadi terhadap perkonomian dan infrastruktur di Palestina.

Saat itu juga Israel berhasil menguasai kembali wilayah yang dipimpin oleh Otoritas Palestina, sehingga ruang bagi warga Palestina semakin berkurang.

Perpecahan Palestina dan Blokade Gaza

Pada tahun 2004, Yasser Arafat, pemimpin PLO dikabarkan meninggal. Di tahun berikutnya, untuk pertama kalinya warga Palestina memberikan suaranya dalam pemilihan umum.

Pada 2006, Hamas memenangkan dalam pemilihan Palestina, sebagian karena reaksi atas korupsi serta stagnasi dari partai Fatah yang berkuasa.

Ismail Haniya yang merupakan pemimpin Hamas terpilih menjadi perdana menteri. Namun, renggangnya hubungan antara Hamas dan Fatah menyebabkan kekerasan.

Perpecahan pun terjadi antara Fatah dan Hamas, sehingga kesepakatan untuk mendirikan pemerintahan persatuan nasional pun tidak terlaksana.

Kala itu, Hamas memimpin pengambilalihan Gaza dengan bersenjata, sementara Fatah terus mengendalikan Otoritas Palestina di Tepi Barat. Sejak itu, tidak ada lagi pemilu.

Hamas mengusir Fatah dari Jalur Gaza, dan Fatah kembali berkuasa di sebagian wilayah Tepi Barat.

Israel kemudia memberlakukan blokade darat, udara, hingga laut di Jalur Gaza pada tahun 2007. Mereka juga menuduh Hamas sebagai teroris.

Perang Jalur Gaza

Israel telah melakukan empat serangan militer di Gaza, yaitu sejak tahun 2008, 2012, 2014, dan 2021.

Serangan tersebut sudah menewaskan ribuan warga Palestina dan menghancurkan puluhan ribu rmah, sekolah, dan gedung kantor.

Pada 2008, perang melibatkan pemakaian gas fosfor. Selanjutnya, di tahun 2014, perang yang terjadi selama 50 hari, Israel sudah menewaskan warga sipil sebanyak 1.462 dan hampir 500 anak-anak.

Pada Mei 2021, Israel kembali menyerang Masjid Al Aqsa yang dipicu oleh perebutan wilayah Yerusalem Timur, tepatnya Sheikhh Jarrah.

Sekitar 11 hari perang, kedua negara tersebut sepakat untuk melakukan gencatan senjata dan dimulai pada Jumat, 21 Mei 2021.

Serangan Hamas ke Israel

Pada 7 Oktober lalu, Hamas meluncurkan serangan ke Israel dengan menembakkan ribuan roket ke Israel. Sekitar 1.400 orang Israel tewas dan 4.562 lainnya terluka.

Pasukan Israel pun merespon dengan mendeklarasikan ‘keadaan waspada perang’. Israel pun membalas dengan menyerang Jalur Gaza.

Melansir dari ABC News, setelah serangan dari Israel, pihak yang berwenang Palestina mengatakan bahwa kurang lebih sebanyak 3.478 tewas dan 12.065 lainnya terluka di Gaza.

Para pejabat pertahanan Israel menyampaikan bahwa semua aliran listrik dan makanan ke Gaza akan diberhentikan.

Hal tersebut dilakukan sebagai persiapan untuk ‘pengepungan total’. Sejumlah serangan tersebut menjadi perhatian dan menimbulkan protes di seluruh dunia.

(kpr/kpr)
Tonton juga video berikut:
1 / 2
Loading
Loading
ARTIKEL TERKAIT
detikNetwork
UPCOMING EVENTS Lebih lanjut
BACA JUGA
VIDEO
TERKAIT
Loading
POPULER