Penyebab Utama Runtuhnya Dinasti Qing di China setelah 250 Tahun Berkuasa

Selama lebih kurang 2.000 tahun dinasti-dinasti kuat Kekaisaran China berkuasa dan tidak tersentuh oleh pengaruh luar. Tak hanya kekuasaan yang solid, jejeran dinasti kerajaan ini merupakan yang terkaya di dunia pada zaman dahulu.
Namun, semua kisah manis tersebut harus berubah nelangsa. Pada abad ke-19, sejumlah konflik datang silih berganti dalam lingkup internal dan menjadi penyebab runtuhnya Kekaisaran China yang masyhur.
Alasan utama dinasti kerajaan China tempo dulu hancur karena gagal beradaptasi dengan modernisasi, strategi reformasi mereka tidak mampu menyatu dengan gempuran perubahan yang niscaya.
Complexity Science Hub (CHS) sebuah tim peneliti asal Vienna, Austria, menganalisis salah satu dinasti Kerajaan China yang paling jaya dan paling lama berkuasa, Dinasti Qing.
Dinasti Qing menguasai seluruh daratan China selama lebih dari 250 tahun dan runtuh pada 1912 yang lampau.
CSH mengungkapkan pemicu Dinasti Qing ambruk adalah ketidakstabilan akibat modernisasi. Hasil studi ini menawarkan pelajaran penting untuk generasi zaman sekarang mengenai strategi bertahan pada era perubahan.
China hari ini merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia dalam hal Purchasing Power Parity (PPP). Namun, kesuksesan mereka dalam membangun fondasi perekonomian yang kuat bukanlah hal baru. Pada tahun 1820, perekonomian China juga menduduki posisi teratas di dunia, menyumbang 32,9 persen Produk Domestik Bruto (PD) dalam skala global.
Menurut George Orlandi, penulis pertama studi, Kekaisaran Dinasti Qing yang berkuasa mulai dari 1626 hingga 1912 jauh lebih kaya dibandingkan China modern.
Kejatuhan Dinasti Qing hingga China sukses bangkit dan mendominasi perekonomian dunia seperti sekarang mestinya dapat menjadi pembelajaran bahwa keadaan bisa berubah semudah membalikkan telapak tangan.
"Hal ini (kebangkitan China) jelas menunjukkan bahwa perekonomian mana pun harus waspada karena keadaan dapat berubah dan terkadang dengan cepat," tegas Georg Orlandi.
"Sangat penting untuk memahami bagaimana China mampu mengatasi ketidakstabilan karena sudah pernah terjadi pada masa lalu. Pemikiran tidak dapat terulang kembali adalah sebuah kesalahan. Perubahan memang bisa terjadi karena mekanisme yang mendasarinya memiliki kesamaan yang mengejutkan," kata peneliti CSH lainnya, Peter Turchin.
Para ilmuwan telah berusaha untuk menentukan penyebab jatuhnya Dinasti Qing selama dua abad. Berbagai faktor sebelumnya telah mereka usulkan, termasuk bencana lingkungan, serangan negara asing, kelaparan, dan pemberontakan.
"Namun, tidak satupun dari faktor-faktor ini memberikan penjelasan yang komprehensif," kata Turchin.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini, para peneliti menggabungkan berbagai faktor dan menemukan bahwa ada tiga elemen yang secara dramatis meningkatkan tekanan sosial-politik yang memporak-porandakan Dinasti Qing.
Pertama, terjadi ledakan penduduk sebanyak empat kali lipat antara tahun 1700 dan 1840 sehingga mengakibatkan berkurangnya lahan per kapita. Kondisi ini juga menyebabkan warga pedesaan menjadi lebih miskin.
Kedua, meningkatnya persaingan untuk mendapatkan posisi elit sehingga banyak lahir pengangguran. Kondisi yang menurut para peneliti sangat mirip dengan permasalahan mayoritas negara-negara di dunia sekarang.
Bedanya, pada era Dinasti Qing peningkatan jumlah pelamar kerja tidak sebanding dengan kuantitas lulusan akademis tertinggi. Pada tahun 1796 jumlah akademis atau sarjana berada pada titik terendah.
Peneliti menemukan bahwa ada permainan politik dan strategi licik sejumlah oknum abdi dalam kerajaan yang menjadikan edukasi untuk meraih gelar tinggi sangat sulit, meskipun untuk kalangan bangsawan.
Alhasil, terjadilah pemberontakan Taiping atau demonstrasi Para pemimpin Pemberontakan Taiping yang tercatat dalam sejarah sebagai perang saudara paling berdarah dalam sejarah umat manusia.
Ketiga, beban keuangan negara meningkat karena meningkatnya biaya yang terkait dengan upaya meredam kerusuhan, menurunnya produktivitas per kapita, dan meningkatnya defisit perdagangan akibat cadangan perak dan impor opium yang merosot.
Secara kolektif, faktor-faktor ini memuncak dalam serangkaian pemberontakan yang menandai berakhirnya Dinasti Qing dan menimbulkan banyak korban jiwa di China.
Menurut temuan studi tersebut, ketegangan sosial telah mencapai puncaknya antara tahun 1840 dan 1890.
"Mengasumsikan bahwa penguasa Qing tidak menyadari tekanan yang meningkat ini adalah sebuah kesalahan," jelas Turchin.
Fakta bahwa dinasti ini bertahan hingga tahun 1912 semakin menegaskan kekuatan struktur institusionalnya.
Sebenarnya, para elit dan penasihat kerajaan telah berupaya untuk mempertahankan digdaya Dinasti Qing, mereka sempat menambah kuota warga untuk mengikuti ujian gelar tertentu. Sayang sekali, strategi tersebut gagal karena kerajaan tidak meningkatkan jumlah lowongan kerja.
Akhirnya, kedatangan para penantang geopolitik yang kuat pada akhir abad ke-19 menjadi pencabut nyawa pamungkas bagi Dinasti Qing. Para penguasa tak berdaya menghindar dan akhirnya menyerahkan kekuasaan.
(syf/syf)
8 Rekomendasi Drama Korea Kerajaan atau Saeguk Terbaik dengan Rating Tertinggi
Rabu, 10 Apr 2024 18:00 WIB
Segini Rating 'Captivating The King' Usai Adegan Malam Pertama Jo Jung Suk
Senin, 12 Feb 2024 18:00 WIB
Sambut Tahun Baru, Ini Deretan Drama Korea yang Tayang di Januari 2024
Minggu, 31 Dec 2023 08:00 WIBTERKAIT