4 Alasan Saksi Ahli Prof Eddy Yakin Jessica Wongso Pembunuh Mirna Salihin
Kasus kematian Wayan Mirna Salihin akibat meminum kopi sianida kembali jadi perbincangan hangat publik.
Peristiwa yang dianggap sebagai kasus pembunuhan berencana tersebut menjadikan Jessica Wongso sebagai sosok pelaku utama.
Banyak pihak yang kemudian ikut menyoroti kembali kasus ini setelah sekian lama, mulai dari pakar kriminal, ahli hukum, hingga figur publik.
Salah satu figur publik yang ikut membahas khusus soal kasus tersebut adalah Deddy Corbuzier.
Deddy lantas membahas kasus tersebut bersama Edward Omar Sharif Hiariej atau Prof Eddy Hiariej yang saat ini menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM.
Prof Eddy Hiariej merupakan saksi ahli dalam persidangan Mirna Salihin dan Jessica Wongso pada 2016.
Tak banyak buang waktu, Deddy langsung pada inti masalah dengan pertanyaan soal Jessica Wongso bersalah atas kematian Mirna Salihin.
"Satu pertanyaan, Prof, apakah Jessica Wongso adalah pembunuh Mirna Salihin?" tanya Deddy Corbuzier dalam tayangan podcast Close The Doors yang dikutip pada Selasa (10/10).
"Iya, langsung," jawab Prof Eddy Hiariej Wamenkumham itu dengan tegas.
Bukti Persidangan
Bukan tanpa dalih yang kuat, Prof. Eddy Hiariej menjelaskan sempat menolak untuk menjadi saksi ahli dalam kasus tersebut.
Pasalnya, kasus tersebut memang sangat kontroversi dan jadi sorotan publik hingga tak boleh ada kesalahan yang terjadi sedikit pun dalam proses pemeriksaan hingga persidangan.
"Bahwa dalam perkara-perkara pidana, bukti itu harus lebih terang daripada cahaya. Saya ingin mengatakan, ketika saya diminta oleh Kombes Krishna Murti, menjadi ahli dalam kasus ini saya tidak menjawab langsung iya, kenapa? Karena kasus ini ancamannya tidak main-main, hukuman mati, saya tidak mau serampangan," ungkap Prof Eddy Hiariej.
"Sebelum itu, saya meminta untuk diperlihatkan keterangan ahli lainnya, 9 CCTV, keterangan saksi dan hard evidence seperti mesin pembuat kopi, gelas, segala sesuatu yang diperoleh dari TKP, itu ada 30 hard evidence," sambungnya.
Prof. Eddy Hiariej berujar bahwa Jessica mungkin memang tidak terlihat secara langsung menuangkan racun sianida di kopi Mirna.
Namun, bukti yang disebut Prof. Eddy Hiariej sebagai direct evidence (saksi mata) tidak menjadi satu-satunya bukti yang kuat di persidangan.
"Menjawab pertanyaan mas Deddy. Saya menulis dalam sebuah buku saya mengenai teori dan hukum pembuktian, dalam perkara pidana tidak ada hierarki alat bukti, kita tidak bisa menyatakan saksi mata lebih tinggi dari yang lain, itu tidak bisa. Soal pertanyaan tidak ada yang melihat, Jessica menuangkan racun dalam kopi, ini disebut direct evidence (saksi mata)," jelas Prof. Eddy.
"Tapi ada 6 bukti lainnya, yang namanya saksi mata ini hanya satu per tujuh, masih ada testimonium evidence termasuk di dalam scientific evidence, terus ada substitute evidence, documentary evidence, sampai demonstrative evidence, lalu yang terakhir real or physical evidence yang masuk dalam hard evidence," lanjutnya.
Prof. Eddy Hiariej pun berujar ada banyak sekali bukti lain yang mengarah bahwa Jessica adalah pelaku pembunuhan Mirna.
Bila bukti-bukti lain memang sudah terpenuhi, Jessica jelas merupakan pelaku dalam kasus pembunuhan Mirna.
"Real or physical evidence ini adalah hard evidence, ada 30 jenis dan inilah yang membuat bukti itu menjadi terang bahwa Jessica adalah pelaku, meskipun tidak ada saksi mata," ungkap Prof Eddy.
Selain itu, Prof. Eddy Hiariej juga merasa kepolisian tidak sembarangan dalam menangani kasus pembunuhan Mirna yang akhirnya menjadikan Jessica sebagai pelaku utama.
"Gelar perkara dilakukan berkali-kali hingga sampai pada atasan yang tertinggi di Polri dalam hal ini adalah Kapolri dan jaksa, kan, tidak langsung menerima begitu saja dua kali dilakukan pengembalian berkas, koordinasi dilakukan lebih dari lima kali," ujar Eddy.
Autopsi terhadap Jenazah Mirna Salihin
Prof. Eddy lantas juga menjelaskan bahwa jenazah Mirna Salihin diautopsi untuk mengetahui kadar racun sianida yang ada di tubuhnya.
Hal tersebut dijelaskan Prof. Eddy agar masyarakat tidak terbuai dengan kabar simpang-siur mengenai tidak adanya autopsi terhadap Mirna.
"Jadi Mirna itu diautopsi pada tanggal 10 Januari 2016, 3 hari setelah kematian itu, bahwa tidak seluruh sampel diambil dari tubuhnya, ya itu benar, karena sudah terbukti dari awal (ada sianida di tubuh Mirna)," ungkap Prof. Eddy.
Prof. Eddy pun menjelaskan soal heboh tanggapan terhadap hasil autopsi yang menyatakan bahwa setidaknya ada 0,2 miligram per liter sianida di dalam tubuh Mirna dan dianggap tidak berbahaya.
Sianida yang masuk ke dalam tubuh Mirna tersebut adalah diketahui merupakan NaCN (sodium sianida) yang berbentuk kristal mirip garam.
"Jadi NaCN yang terdapat di lambung Mirna itu 950 miligram per liter, itu kan sudah menyatu jadi senyawa (lewat proses di dalam tubuh), jadi tidak bisa lagi dipilah-pilah, Kalau dikatakan kalau itu hanya 0,2 miligram dan tidak berbahaya, coba aja diteguk," ujar Prof. Eddy.
"Hasil autopsi itu menyatakan bahwa sianida adalah berbahaya, bagian lambung mengalami korosif (rusak), tenggorokan juga korosif. Kalau tidak ada sianida di tubuh Mirna, seharusnya setelah 3 hari baru diautopsi, seharusnya sudah tidak ditemukan. Tapi karena saking banyaknya yang tersisa, 0,2 miligram per liter ditambah NaCN 950 miligram per liter, jadi dibaca sebagai senyawa satu-kesatuan," sambungnya.
Digital Forensik & Keterkaitan dengan Film 'The Hateful Eight'
Pemeriksaan melalui digital forensik juga menjadi salah satu pencarian bukti yang dilakukan terhadap Jessica Wongso dalam kasus kematian Mirna Salihin.
Hasil digital forensik tersebut lantas menjadi sejumlah hal yang memberatkan Jessica Wongso dalam pemeriksaan.
Pasalnya, Jessica Wongso disebut sempat mencari informasi mengenai sianida melalui laptop yang disita kepolisian.
"Jadi dia ini, kan, punya catatan kepolisian sampai 14 kasus di Australia, terus dia bekerja di perusahaan farmasi, yang menarik adalah berdasarkan hasil digital forensik dari laptop Jessica Wongso yang disita, jadi dia search (cari informasi) bagaimana racun sianida itu," kata Prof. Eddy.
Hal menarik lainnya dari hasil digital forensik menyatakan bahwa Jessica Wongso sempat menonton film berjudul The Hateful Eight garapan sutradara Quentin Tarantino yang dibintangi Samuel L. Jackson.
Film The Hateful Eight ini berkisah tentang 8 orang koboi di mana salah satu dari mereka membunuh 7 temannya dengan menggunakan racun sianida.
"Bahkan pada tahun 2015 dia (Jessica Wongso) menonton film The Hateful Eight, jadi film itu menampilkan 8 koboi, di mana ada 1 koboi yang membunuh 7 temannya dengan menggunakan sianida," lanjut Prof. Eddy.
Pemeriksaan CCTV, 4 Terduga Pelaku, dan Waktu Racun Ditaruh
Prof. Eddy Hiariej kemudian berbicara soal pandangan hukum berdasarkan kausalitas atau sebab-akibat.
Pandangan tersebut lantas mengerucutkan kemungkinan orang-orang yang ada di TKP (tempat kejadian perkara) menjadi tersangka.
"Ini secara hukum, ya, melihat bahwa, kan, ada kausalitas, Mirna mati karena apa? Minum kopi. Mengapa dia minum kopi bisa mati? Berdasarkan hard evidence, di dalam kopi ada sianida. Pertanyaan lebih lanjut, siapa yang memasukkan sianida? Kalau kita pakai possibility suspect, kemungkinan tersangka itu hanya ada 4 orang; satu adalah Rangga si barista, yang kedua adalah Agus si pramusaji, yang ketiga adalah Jessica Wongso, dan keempat adalah Hani," ungkap Prof. Eddy.
"Hani ini langsung di-ignore (diabaikan), karena dia datang bersama-sama Mirna, jadi tidak mungkin dia yang menaruh racun. Jadi sekarang tinggal 3 kemungkinan tersangka," sambungnya.
Prof. Eddy kemudian juga menyoroti hasil pemeriksaan terhadap 3 orang pekerja di Oliver Cafe yang ternyata memberikan satu jawaban sama.
"Tapi, saya mau cerita dulu. Pas malam itu 3 orang Oliver Cafe langsung diangkut kepolisian, itu Rangga, Agus, Devi, mereka kemudian diperiksa dalam waktu bersamaan, oleh penyidik yang berbeda di waktu berbeda," jelas Prof. Eddy.
"Ada satu pertanyaan penyidik yang dijawab sama persis oleh ketiga orang ini, yaitu 'Bagaimana standar kalau seseorang memesan Ice Coffee Vietnam?' Jadi kalau ada pemesanan, kopi itu dibuat di teko, lagu ada gelas yang sudah diisi es batu, lalu ada sedotan dan tisu," sambungnya.
Standar operasional tersebut juga mengatur bahwa sedotan tidak boleh dimasukkan ke dalam gelas kecuali dilakukan oleh pelanggan.
Namun, keterangan saksi bernama Marlon yang juga menjadi pramusaji menjelaskan bahwa sedotan tersebut terlihat sudah dimasukkan ke dalam gelas.
"Begitu diantarkan (oleh Agus), es yang ada teko akan dituangkan ke dalam gelas yang sudah ada es batu, tapi sedotan tetap tidak dimasukkan. Ketika saksi Marlon, dia membawa cocktail pesanan Jessica, dia melihat sedotan itu sudah ada di gelas kopi tersebut," kata Prof. Eddy.
Eksperimen dari sejumlah ahli kemudian menentukan perihal waktu racun sianida tersebut dimasukkan ke dalam gelas Mirna.
Hasil eksperimen tersebut menyatakan bahwa racun tersebut dimasukkan ke dalam gelas Mirna antara pukul 16.29—16.45 WIB.
Sementara, Jessica menjadi satu-satunya orang yang berada di area dekat kopi Mirna pada pukul tersebut.
"Eksperimen ini dilakukan untuk menentukan kapan racun tersebut dimasukkan ke dalam Ice Coffee Vietnam. Jadi ada dua eksperimen yang dilakukan di tempat dan dengan metode yang berbeda, tapi hasilnya sama bahwa racun sianida itu dimasukkan ke dalam kopi itu antara waktu 16.29—16.45 WIB," jelas Wakil Menteri Hukum dan Ham itu.
"Dan pada saat itu tidak ada orang yang menguasai minuman itu, tidak ada yang dekat dengan minuman itu kecuali Jessica," lanjutnya.
Prof. Eddy kemudian lanjut menjelaskan mengenai alasan barista bernama Rangga dan pramusaji bernama Agus bisa gugur dari daftar tersangka.
"Mengapa Rangga tidak mungkin (jadi tersangka)? Karena sesuai SOP, kopi itu dibuat di dalam teko, kalau saat itu racun dimasukkan, maka seisi Oliver Cafe itu akan keluar, karena baunya sangat menyengat," ujar Prof. Eddy.
"Kalau itu dimasukkan oleh si pramusaji atau Agus, dia tidak bisa mengelak, karena seluruh tindak-tanduk dia terpantau CCTV, jadi yang paling mungkin dari eksperimen itu, ketika kopi dituangkan ke dalam gelas yang sudah ada es batu, lalu sianida dimasukkan, maka tidak ada bau yang menyengat," sambungnya.
Penjelasan panjang Prof. Eddy berdasarkan keterangan ahli, saksi, dan juga barang bukti tersebut lantas berujung pada kesimpulan bahwa Jessica Wongso adalah pembunuh Mirna Salihin.
Prof. Eddy pun sempat merasa terkejut ketika Jessica mampu bersikap tenang seolah-olah bukan tersangka dalam kasus kematian Mirna.
Namun, Prof. Eddy merasa sangat yakin bahwa Jessica Wongso bersalah dalam kasus pembunuhan Mirna Salihin.
"Ya, karena dia luar biasa. Dia bisa menyembunyikan itu dengan tenang. Merasa tidak bersalah dan lain sebagainya itu luar biasa lo. Itu mungkin satu di antara sekian juta orang, karena saya yakin dia pelakunya, tapi dia bisa menyembunyikan itu," tutup Prof. Eddy.
(ikh/and)